Tak pelak, kita pasti tergelitik untuk bertanya, apakah kita memang punya banyak alasan untuk berada jauh dari obyektivitas dan pengembangan ilmu?
Bukankah universitas kita yang sudah berdiri sejak jaman Belanda juga punya reputasi yang tidak kalah dengan negara lain? Bukankah banyak sekali ahli, peneliti, insinyur, dokter, ekonom ternama juga keluaran universitas negeri kita? Bukankah banyak karya terbaik dan bermanfaat dihasilkan, bahkan insinyur Departemen Pekerjaan Umum kita juga sudah meluncurkan alat penyaring air kotor praktis yang bisa digunakan para korban banjir dari manfaat ilmunya? Dengan kemajuan teknologi yang memungkinkan kita untuk semakin mudah mengakses teori, riset, informasi, bukankah semestinya pengembangan ilmu semakin pesat dan bukan sebaliknya semakin tumpul, bahkan kotor? Apa benar ‘mindset’ intelek kita sedang bermasalah?
Kita memang bisa melihat kemajuan dan pengembangan ilmu dari bagaimana aplikasi nyatanya dalam masyarakat. Namun, pengaruh dunia pendidikan juga bisa kita teropong dari sikap terhadap masalah, cara berpikir, cara menganalisis, bahkan cara bicara. Bila kita menyaksikan cara orang bertanya, tanpa diikuti pengambilan kesimpulan yang bermutu, cara orang berkomentar yang tidak didukung data tanpa rasa bersalah, kita memang perlu prihatin dengan kurang berpengaruhnya dunia pendidikan dalam perkembangan sikap intelek di masyarakat kita.
Bertanya sebelum Menyimpulkan
Cucu saya, seperti halnya anal-anak lain, terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan kritis. Pernah saya tanyai, dari mana
ia mendapatkan ide untuk mengajukan pertanyaan tertentu. Lucunya, ia menjawab bahwa di sekolahnya ada pelajaran khusus, yang diberi nama ‘enquiry learning’. Di sini setiap siswa diberi suatu topik dan hanya boleh ‘bertanya’ dan ‘bertanya’, kemudian beramai –ramai membuat kesimpulan tentang apa yang mereka “temukan” hari itu dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Saya tertegun dan berpikir, betapa banyak di antara kita memang tidak dilatih dan tidak merasa penting untuk sabar menggali pemahaman secara mendalam. Padahal bila selama pendidikan dasar kita diberikan latihan semacam itu, tidak hanya kita terbiasa untuk mengambil kesimpulan yang tajam, namun kita juga bisa berkomunikasi dengan lebih harmonis dan berelasi dengan lebih efektif. Kita sama-sama tahu, bila kita tidak secara seimbang menggali pemahaman dengan 5W + 1 H (“what”, “when”, “who”, “where”, “why” dan “how”), tak jarang dampaknya akan membuat ‘hard feeling’ dari lawan bicara atau tidak didapatnya kesimpulan yang bermutu, bahkan melenceng.
Menemukan “AHA Experiences”
Tentu kita masih ingat dengan cerita telur Colombus. Saat Colombus mendemonstrasikan cara memberdirikan telur di depan cendekiawan Spanyol, yang tidak berhasil menjawab tantanganya tersebut, mereka segera berkata “Ooo... begitu”. Ini sebenarnya adalah proses penerimaan input, didapatkannya sebuah pemahaman baru dan pengambilan kesimpulan yang penting untuk pengayaan intelektualitas individu. Ungkapan “Ooo begitu”, tentu saja sangat berbeda dengan ungkapan: “Okelah kalau begitu”. Dari pernyataan pertama, tampak diperoleh “aha experience”, di mana individu menemukan solusi atau jawaban dari suatu permasalahan yang selama ini masih kabur. Sementara pernyataan kedua, hanya persetujuan mengenai pendapat atau keadaan, terlepas dari apakah ia paham atau tidak esensi permasalahannya. “Aha experiences” inilah yang mestinya dihayati dan digali setiap orang dalam tiap situasi, bukan semata milik peneliti dan penemu, seperti Einstein dan Thomas Alfa Edison saja.
Kita bisa semakin jauh dari sikap ilmiah, bila tidak membiasakan diri membaca dan mengambil keputusan berdasarkan analisa data.
Di sebuah perusahaan, para manajer yang hampir semuanya sarjana, seringkali berbantah-bantahan dan berkomentar tanpa diperkuat data. Ujung-ujungnya, masalah yang ada tetap tidak kelihatan akarnya. Keputusan pun diambil secara intuitif (baca: tradisional), tanpa dasar yang jelas. Teman saya yang menyaksikan hal ini, sambil menyayangkan, berkomentar: ”Ini baru satu perusahaan, bagaimana kalau satu negara?”. Dari sini kita perlu meninjau kembali kebiasaan di lingkungan kerja kita sendiri. Apakah kita sudah menumbuhkan rasa ingin tahu yang positif? Apakah kita biasa mengajak teman-teman memeras otak untuk mendapatkan solusi kreatif? Apakah kita peduli untuk mengajak lingkungan mencari esensi permasahalan dan kemudian menghitung agar pengambilan resiko bisa pas?Bila ditelaah kembali, yang menjauhkan kita dari keilmiahan dan keintelekan, bukanlah mundurnya dunia pendidikan semata. Kita sendiri dan cara pergaulan kitalah yang menyebabkan kita tidak malu untuk ‘ngawur’, beralasan untuk tidak obyektif serta malas berpikir. Bila kondisi seperti ini kita pelihara, wajar saja bila para plagiator dan tukang contek tidak terusik rasa malunya dan bahkan masih berani menepuk dada dan minta dielu-elukan.
(Dimuat di KOMPAS, 27 Februari 2010)