was successfully added to your cart.

Ya, kita semua tentu merasa kehilangan Gus Dur. Berbeda dengan banyak tokoh besar lain, kita mengenal dan mengenang Gus Dur karena sikapnya yang tidak “Ja-im”, tidak banyak basa-basi, apa adanya, transparan. Selain visioner dan kegigihannya mendobrak, bisa jadi sikapnya yang sederhana dan jujur-lah yang membuat beliau menonjol dan menjadikan kita begitu merespek beliau. Dari kesan orang-orang yang dekat dengan beliau, kita bisa melihat bahwa Gus Dur nyata-nyata bukan sekedar berkata jujur, tapi juga mempraktekkan kejujurannya secara konsisten. Mungkin untuk selama-lamanya kita akan mengingat pesan beliau: “Harus jujur...”

Kita sering menganggap jujur adalah sebuah atribut, salah satu aspek kepribadian. Banyak lembaga dan organisasi yang melaksanakan assessment, memberi instruksi pada kami untuk secara mendalam ‘memeriksa’ kejujuran karyawan atau calon karyawannya. Sebagai salah satu aspek kepribadian, kita bisa mengecek kejujuran dengan mengkaitkannya pada tidak bersedia atau tidak pernahnya seseorang melakukan korupsi, kecurangan dalam pekerjaannya. Pertanyaannya, apakah hanya sebatas lingkup itu saja yang dimaksudkan dengan “kejujuran”? 

Mungkin sejak kanak-kanak sampai hari ini, sudah ratusan bahkan ribuan kali kita mendengar nasihat untuk bersikap dan bertindak jujur. Pesan ini bisa jadi terlalu sederhana dan bila kita tidak hati-hati akan lewat begitu saja, terlupakan. Namun, bila kita mau hening sejenak dan memikirkannya, nasihat ini bisa jadi akan mengubah seluruh pandangan dan bahkan makna hidup kita. Bukankah kita akan merasa lega luar biasa bila bisa berkata jujur? Bukankah kita menyadari bahwa sikap jujur terkadang mengandung kekuatan internal yang menyebabkan kita tidak tergoyahkan bahkan bisa nekad dan mempunyai sikap ‘nothing to loose’? Bukankah kita baru bisa menepuk dada, menerima diri, mengatasi frustrasi, menghargai anugerah hidup saat kita jujur pada diri sendiri, lingkungan, organisasi dan bangsa?

Suburkan Dialog dengan Diri

Kita sendiri sadar bahwa kita sering mengingkari konflik, sikap, bahkan pikiran diri sendiri. Tidak menyampaikan permasalahan yang kita hadapi dengan alasan tidak ingin membuat orang lain susah. Tidak melaporkan penyimpangan dengan alasan solider pada teman yang berbuat salah. Dengan membuat pembenaran berulang-ulang, akhirnya kita semakin meyakini pula “kebohongan” tersebut kuat-kuat sebagai kebenaran. Akibatnya, dialog batin sulit terjadi. dan barometer alias “gut check” kejujuran yang berasal dari diri sendiri tersumbat.

Dalam keseharian, kita sebagai orang dewasa memang perlu rajin mempertanyakan alasan-alasannya mengambil tindakan, dan tidak sekedar terjebak dalam situasi di mana kita  menjadikan sikap dan tindakan kita otomatis dan rutin. Kita memang perlu mempertanyakan, kenapa saya mempertahankan jabatan ini? kenapa saya takut mengambil resiko? mengapa saya takut menolak instruksi padahal jelas-jelas instruksi ini salah dan merugikan? mengapa saya percaya atau tidak percaya pada atasan saya? Kekuatan ‘gut check’ ini sebetulnya adalah pembentuk kepribadian individu. Kita bisa jadi tidak punya kemampuan untuk tampil ‘beda’ dan berkarakter, terutama saat menghadapi situasi yang berat, katakanlah fitnah, tuduhan, ataupun godaan jabatan. Tokoh kuat, seperti almarhun Frans Seda, dalam bicara, berpendapat, menolak atau mengambil sikap, sangat terasa dipandu oleh barometer etika yang kuat. Sikap etisnya dibangun dari dari anyaman  perilaku, nilai dan keyakinan  yang kokoh yang dievaluasi setiap saat. Konsistensi dan penyadaran diri inilah yang merupakan pangkal tolak dari sikap jujur yang memang harus hidup secara dinamis di dalam diri individu.

Mengalahkan ‘Self-Interest

Anak sekecil apapun biasanya sudah menanamkan  nilai kejujuran dalam dirinya. Ia pasti sudah tahu bahwa berbohong, menyontek, itu tidak baik. Tapi, mengapa di masyarakat sekarang ketidakjujuran sering terekspos secara mencengangkan, bahkan terjadi pada presiden-presiden negara adidaya, seperti Nixon dan Clinton? Kita lihat, perkembangan individualisme di masyarakat diikuti dengan pengembangan ‘self-interest’ yang pesat. Individu cenderung peduli hanya pada kepentingan dirinya sendiri. Kita terbiasa dan tidak lagi berespon keras saat menyaksikan orang mengejar uang dan keuntungan, ketimbang memperjuangkan tanggung jawab dan kepentingan orang banyak. Kita bahkan bersikap skeptis terhadap lembaga-lembaga pengabdian masyarakat yang didalam realita juga  banyak yang tidak ‘bersih’.

Perjuangan untuk mempraktekkan kejujuran memang tidak bisa lepas dari upaya kita secara sadar untuk mengalahkan kepentingan diri pribadi. Kita lihat bahwa kejujuran bukan sekedar berkata benar dan mempertimbangkan benar salah, namun mempraktekkan kematangan, sehingga terbaca dalam gerak gerik maupun mental seseorang. Semakin tinggi peran dan tanggung jawab yang kita emban, di kelompok, lingkungan dan lembaga, kita perlu sepenuhnya menyadari bahwa semakin berat juga bobot tuntutan untuk menunjukkan kedewasaan, menyadari tanggung jawab peran dan mengedepankan kepentingan publik yang kita ‘layani’.

Kejujuran: 'Work in Progress'

Pertanyaan:”Apakah saya 100% jujur?”, bisa serta merta kita jawab dengan ‘tidak’. Kita tentu pernah melanggar lampu lalu lintas, menyontek, membebankan pengeluarkan pribadi pada perusahaan atau menambah-nambahi prestasi dalam presentasi ataupun curriculum vitae kita. Namun, kita pastinya akan lebih menjaga sikap dan tindakan kita saat ada di depan anak, cucu atau bawahan, karena sebagai manusia yang sehat kita tentunya ingin mengajarkan kejujuran dan mewariskan nilai-nilai luhur pada orang-orang yang kita cintai. Ini  membuktikan bahwa kita memang mampu mengatur pendekatan  kita, baik rasional maupun emosional  terhadap situasi.  Jujur tidaknya kita bisa langsung kita rasakan dan monitor sendiri. Kejujuran bukanlah sesuatu yang ada jauh di dasar kepribadian kita, sampai tidak bisa dilacak. Semua gerak, ekspresi dan keputusan kita bisa memperlihatkan kejujuran dengan gamblang.

Kejujuran memang adalah nilai yang tidak bisa dianggap statis, ia berkembang sejalan dengan konflik dan kompleksitas situasi. Kontrol diri dan transparansilah yang akan membantu kita untuk menghindari perbuatan perbuatan yang jauh dari kejujuran. Individu, apalagi pimpinan harus menyadari bahwa dialah yang perlu menciptakan sistem transparansi di sekitarnya agar perjalanan nilai kejujurannya tetap berkembang. Bila dalam situasi yang berat, seorang pemimpin tetap bisa menunjukkan komitmen, bisa dipercaya, dan loyal, kita lihat ia akan ‘naik peringkat’ dalam kualitas kejujurannya.

Kejujuran tampaknya perlu menjadi sasaran hidup seorang individu, apalagi pemimpin, karena ini adalah modal utama dalam pengambilan keputusan dan menjadi perisai yang ampuh dalam kancah politik. Hanya dengan kekuatan inilah seorang pemimpin tidak bisa tergoyah ‘self esteem’-nya dan akan dikenal luas dengan penuh respek.

(Dimuat di KOMPAS, 16 Januari 2010)

For further information, please contact marketing@experd.com