Kita mau tidak mau sudah berada di era yang nyata-nyata “gadget obsessed” dan multitasking. Nilai-nilai sosial memang sudah bergeser. Baru beberapa tahun yang lalu, dalam pelatihan-pelatihan, saya senantiasa menekankan tidak sopannya bertelpon genggam di tempat umum. Saat sekarang, bahkan tidak terhindarkan, saya sendiri pun terkadang terpaksa mengangkat telpon klien penting yang tidak mudah dihubungi, di tempat umum. Perilaku yang dulunya tidak ‘elegan’ ini, kini sudah diterima masyarakat sebagai perilaku yang relevan dan tidak bisa terhindarkan lagi.
Rasanya sudah biasa kita temui remaja yang tidak pernah mencopot ipod-nya ketika sedang bertemu muka, bahkan bertamu. Beberapa kantor pun membolehkan karyawannya bekerja sambil mendengarkan musik. “Bukankah musik bisa membuat kita lebih produktif?” demikian kilah seorang profesional desain kreatif sebuah perusahaan iklan. Beberapa perusahaan yang melakukan pembatasan email, akses internet, maupun penggunaan multimedia yang dirasa dapat membuat karyawan tidak fokus dengan pekerjaannya, sering ditanggapi oleh para ‘multitasker’ dengan senyum kecut. Bagaimana seharusnya kita berespons dengan tuntutan pekerjaan untuk fokus dan tantangan multitasking?
Generasi ‘Multitasking’
Seorang ahli manajemen menemukan bahwa 80% pebisnis memang melakukan ‘multitasking’ secara intensif. Selain beberapa pekerjaan dilakukan sekaligus dalam satu waktu, waktu kerja juga makin fleksibel, bahkan tidak berbatas lagi. Tak jarang kita terima email bisnis atau sms promo menjelang tengah malam atau dini hari, bukan? Brainstorming di luar jam kerja, pertemuan dengan klien ataupun mitra di luar jam kantor menjadi hal yang sudah sangat biasa. Jam sembilan malam, resto dan cafe belum surut dari orang-orang yang melakukan pertemuan bisnis. “Kalau tidak, ya, tidak keburu” demikian komentar seorang pebisnis.
Kita tahu beberapa eksekutif trampil mengecek email sementara ber-blackberry chat, bahkan di dalam rapat atau yang lebih parah lagi, sambil menyetir! Para “multitasker” ini memang berulah seperti ‘superman’, terlebih karena dimungkinkan dengan begitu berkembangnya teknologi modern. Komputer kita bisa membuka beberapa ‘jendela’ dalam satu waktu, sehingga sambil membuat laporan atau proposal, kita bisa merespons email dan chatting. Dalam situasi ini, mampukah otak kita mengolah dan menangkap berbagai stimulus sekaligus? Ya, otak kita yang luar biasa ini pun tentu saja punya keterbatasan. Otak bereaksi terhadap berbagai informasi dalam dosis yang lebih kecil, namun akibatnya kita tidak bisa mengolah rangsangan secara in depth (mendalam). Status “overexcitement’ otak ini, memang akhirnya tidak memungkinkan otak untuk secara santai bekerja terfokus kepada satu masalah saja secara mendalam.
Fokus: Kekuatan atau Berpandangan Sempit?
Dalam kehidupan bisnis yang serba cepat dan kaget-kagetan begini, maka para professional tampaknya memang perlu mempertanyakan apakah kemampuan untuk memfokuskan perhatian masih menjadi persyaratan utama dari kompetensi eksekusi kita. Ada sebagian professional yang merasa bahwa kapasitas fokus adalah kekuatan, tetapi yang lain beranggapan bahwa terlalu dalam memperhatikan masalah menyebabkan pandangan sempit seolah berkacamata kuda. Yang jelas, kemampuan fokus tetap dibutuhkan oleh kita pada saat kita perlu memutuskan tindakan tertentu, apalagi bila tindakan tersebut berisiko. Contoh yang paling sederhana adalah menembak. Bila kita tidak bisa memfokuskan perhatian kita pada sasaran tembak, maka tembakan kita akan meleset.
Kemampuan eksekusi adalah ketrampilan otak yang mengandalkan kemampuan seseorang untuk menahan masuknya informasi, mengkontrol emosi, memilih tugas yang lebih penting, mengobservasi, sehingga bisa didapatkan informasi yang lebih mendalam dan mendetil sebelum mengambil keputusan. Dalam keadaan biasa, para manajer atau bahkan direktur yang sering terlihat mengambang dalam mengambil keputusan, sebetulnya sering tidak bisa menghitung risiko karena tidak menguasai detil permasalahan. Apalagi dalam keadaan tertekan, kapasitas otak tidak bekerja sama sekali, sehingga akibatnya tindakan terlambat bahkan terhambat alias tidak dilakukan. Di sinilah pentingnya fokus dan penguasaan detil. Bertubi-tubinya informasi dan banyaknya gangguan di sekitar kita memang menjadi tantangan bagi kita yang perlu terus melatih dan mengasah kompetensi untuk fokus dan mengulik detil.
Cermat memilih
Menyadari situasi di tengah tengah tuntutan generasi-M ini, kita benar-benar butuh nyali untuk mampu memperhatikan hal hal yang memang perlu kita ketahui secara mendalam. Teman saya tergagap ketika ditanyai ‘update’ jumlah karyawan per hari ini, padahal dia adalah manajer SDM perusahaan. Teman lain, dengan seru melaporkan negosiasi alot yang sedang dihadapinya. Ketika atasan menanyakan detil transaksinya ia pun mulai terbata bata. Bagaimana kita menyikapi banjir informasi yang perlu maupun tidak perlu ini? Bagaimana pun juga, kitalah yang perlu mengkontrol otak kita, bukan pihak eksternal.
Kecanggihan gadget di tangan kita sesungguhnya bisa kita manfaatkan untuk fokus dan mencapai lebih banyak hal. Misalnya, memanfaatkan fitur agenda dan to do list dengan reminder, men-screening email penting dari email sampah, juga memastikan kita tidak terlewat melakukan kegiatan penting yang perlu kita selesaikan. Tantangannya adalah cermat memilih. Kita perlu memilih materi apa yang masih perlu kita hafal luar kepala, materi apa yang perlu kita update, bahkan telpon dari mana yang kita respons. Tidak semua orang mampu berespons kepada semua panggilan, menjawab semua sms, dan menanggapi semua email yang masuk, sambil tetap bersilaturahmi dengan klien dan para relasi. Apakah kita juga sudah menghitung, apa yang tersisa pula untuk komunikasi dengan keluarga?
(Ditanyangkan di KOMPAS, 29 Agustus 2009)