Simpang siurnya informasi yang kita dengar dari media, baik mengenai teroris yang belum terungkap, bantahan dan gugatan seputar kinerja KPU, serta begitu banyaknya kejadian yang tidak tuntas dan tidak bisa di-‘clear’-kan, membuat banyak orang di sekitar saya menarik nafas dan menyatakan keraguannya pada pencarian ‘kebenaran’. Seorang pakar bilang: “A”, pakar lain mengatakan “B”. Pemberitaan hari ini menyatakan “X”, besok bisa berubah menjadi “Y”. Tanpa disadari, kita jadi terbiasa menyuburkan sikap ragu dan menumbuhkan sikap skeptis terhadap fakta dan data yang dikeluarkan oleh individu maupun lembaga yang punya otoritas dan terpecaya. Reaksi paling mudah adalah memaki negaranya sendiri atau menuding lembaga dan individu yang dirasa bertanggung jawab terhadap kejadian yang sebetulnya memang kita sadari kompleksitasnya ini.
Dalam sebuah rapat evaluasi penjualan, presentasi ‘brutal facts’ mengenai penjualan yang menurun curam malah dipertanyakan oleh hampir semua peserta rapat:”Apa iya? Ini datanya valid atau tidak?”. Situasi ini sebetulnya sangat merugikan karena kemudian semua orang punya alasan menunda dan tidak mengambil ‘action’. Sikap seperti ini bisa menghalalkan tindakan untuk tidak terlibat dan bahkan mengijinkan invididu yang berada dalam situasi itu untuk tidak bertanggung jawab. Padahal, kita musti mengambil tindakan berdasarkan asumsi yang disepakati ataupun berdasarkan keyakinan yang kita punyai. Bukankah seruan dan keyakinan: “Jakarta Aman”, pasca bom Marriot-Ritz Carlton, membuat setiap penduduk Jakarta terdorong untuk beraktivitas kembali dengan keyakinan bahwa bencana tidak terjadi lagi?
Dalam diskusi terkait proses seleksi fit & proper bagi pejabat bank operasional, waktu yang terbatas dan begitu banyak fakta yang sulit diungkapkan kerap memancing keraguan tentang proses seleksi tersebut. Di tengah merebaknya keraguan, seorang pejabat yang bertugas mengkoordinasikan tes berkata, “Saya yakin, kebenaran itu ada. Orang yang tidak memadai pada akhirnya akan kelihatan”. Mendengar ungkapan ini saya jadi berpikir, apa jadinya bila di dunia yang semakin tidak eksak ini, kebenaran diragukan terus dan bahkan dibuat semakin tidak dipercaya. Tetapi sebaliknya, kapan kita boleh mempertanyakan kebenaran itu? Kapan kita boleh ragu dan kapan kita perlu memperkuat keyakinan? Apakah kita memang sudah menjadi segenius Galileo Gallilei (1564-1642) yang mengungkapkan: “Doubt is the father of invention”, sehingga segala fakta kita pertanyakan kebenarannya. Lalu, apa dan siapa yang kita percaya?
Faith vs Doubts
Saat ini kita memang hidup dalam keseharian yang bizarre, senantiasa dikagetkan oleh surprise-surprise yang luar biasa. Sedemikian luar biasanya sehingga banyak kejadian tidak ada rumusnya alias sulit diterangkan secara ilmiah. Barangkali, ini juga sebabnya banyak yang akhirnya lebih meyakini statement-statement yang ‘paranormal’ dibandingkan dengan fakta empiris dan didasarkan pada data nyata.
Sikap tidak percaya pada kebenaran ini bisa berbahaya bila kita kemudian tidak percaya juga pada produk-produk ilmiah yang dikeluarkan lembaga atau para ilmuwan. Kita tahu bebeberapa waktu lalu di sebuah desa, aparat kesulitan menghimbau warganya untuk mengungsi dari potensi bencana alam, karena warga tidak meyakini data yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Bayangkan bila para petani atau nelayan sudah tidak lagi percaya pada ramalan cuaca ataupun hasil penelitian dari lembaga yang telah bekerja keras menemukan cara melakukan kegiatan yang lebih aman, produktif dan efisien. Bisakah kita bayangkan betapa para ilmuwan dan lembaga seperti BMG, LIPI ataupun universitas bekerja sia-sia?
Pada akhirnya, kita toh harus mengambil tindakan berdasarkan keyakinan kita. Kita perlu menarik garis keyakinan dan menentukan, siapa atau lembaga mana yang kita sandari untuk mencari kebenaran. Kita tidak bisa berkubang terus pada sikap ragu-ragu. Bila tidak, kita tidak akan pernah punya garis ‘start’ untuk bertindak dan tidak tahu kemana harus pergi saat menghadapi persoalan. Pentingnya memperkuat keyakinan, membuat presiden Obama, walaupun tergolong muda, senantiasa mengingatkan rakyatnya pada ‘credo’ mereka: “In God we trust”, ungkapan yang notabene tetap ditulis di setiap lembar dolar Amerika. Faith doesn't mean that you don't have doubts, demikian ungkap Obama. Ia memperbolehkan orang untuk mempertanyakan dan meragukan sesuatu. Namun, setelah meragukan kita perlu menemukan jawabannya dan kembali pada garis keyakinan kita.
Pernyataan seorang filsuf: ”Doubt sees the obstacles. Faith sees the way”, meyakinkan kita bahwa kita perlu mengejar kebenaran dan meneguhkan keyakinan, mulai dari diri sendiri kemudian kepada lingkungan, putra-putri, anak didik, bawahan, bahkan rakyat kita. Hidup dengan menegakkan keyakinan akan membuat kita terhindar dari hidup bak layang-layang putus.
Sadari Misi
Dalam sebuah latihan kepemimpinan, beberapa peserta sulit memberi jawaban tegas ketika mereka tiba-tiba dibangunkan dan ditanyai mengenai misi pribadinya. Di sini kita memang bisa belajar dari para prajurit yang senantiasa siap mempertaruhkan nyawa dan selalu sadar akan misinya, yaitu bela negara. Melalui yell, nyanyian, hormat bendera maupun credo, misi bela negara ini ditumbuhkan dan mereka pun saling mengingatkan setiap saat. Kita bisa bertanya pada diri sendiri, bisakah kita hidup bersemangat dan bekerja tak kenal lelah tanpa secara terus-menerus membangun dan menegakkan keyakinan akan tujuan atau misi kita?
Dalam struktur masyarakat yang semakin beragam, keadaan ekonomi yang makin kompetitif, kitalah yang sesungguhnya mempunyai tanggung jawab agar lingkungan tidak makin terombang-ambing, sebaliknya menguatkan pondasi dan mengukuhkan keyakinan bagi generasi yang akan datang untuk tinggal landas.
(Ditayangkan di KOMPAS, 14 Agustus 2009)