Mencetak pemimpin handal adalah tantangan di setiap organisasi, bahkan di tingkat negara. Begitu besar harapan dan kompleksnya tuntutan yang diletakkan di bahu seorang pemimpin, sehingga program pengembangan kepemimpinan yang didesain paling canggih pun mustahil digarap secara instan. Ya, mau tidak mau, pemimpin memang harus siap dan terbuka untuk dipoles dan memoles dirinya ‘luar –dalam’. Harus siap untuk berkeringat. Seperti halnya para calon perwira yang musti selalu siap menjalani “kawah candradimuka” satu ke yang lainnya, diterjunkan ke berbagai ‘medan’ dan tantangan, dalam kurun waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan.
Dalam suatu latihan kepemimpinan, saya memperhatikan seseorang yang tampak tidak segera mendapatkan manfaatnya. Teman kita ini, cepat memahami aturan main, patuh pada instruksi dan sepintas lalu tidak terlihat menonjol, baik pemberontakannya maupun perubahannya. Namun, dalam dirinya tampak tidak terlihat upaya untuk mempertanyakan, mengolah pertentangan, menggarap dilema kerja tim maupun mencerap doktrin. Sementara teman-temannya ‘menikmati’ refleksi diri dan secara serius mengolah berbagai proses batin yang terasa, baginya semua ini hanya bagaikan angin lewat saja. Tentu saja ini adalah ‘waste’ besar, bila sebuah pelatihan yang dijalani tidak dipandang dan diolah dengan sungguh-sungguh. Bagaimana mungkin individu bisa jadi pemimpin handal tanpa upaya untuk betul-betul menggarap aspek-aspek batin dalam dirinya? Bukankah tantangan terbesar pemimpin bukan ujian terhadap pengetahuan atau knowledge-nya, namun justru datang dari kehebatannya dalam mengelola aspek emosi dan psikologi diri dan timnya?
Kembali Pada Diri Sendiri
Kita lihat banyak pemimpin yang cepat naik darah, tidak bisa menahan emosi. Kita juga bisa memahami betapa situasi terjepit ataupun krisis seperti yang kita hadapi ini membutuhkan ketahanan dan ketekunan. Hanya orang orang yang optimis yang mampu menghadapi turbulensi politik, ekonomi dan sosial di masa sekarang ini. Di lain pihak, penyeimbangan antara optimisme dan realitas ini memang bukan hal yang mudah. Tidak selamanya seorang pemimpin berani membuka ‘brutal facts’ dan realitas buruk kepada anak buahnya karena tidak ingin anak buah merasa pesimis dan turun semangat, bahkan balik badan meninggalkan dirinya yang sedang kepayahan.
Seorang pemimpin memang teruji dan diujinya dari situasi yang menempatkannya pada posisi maju kena mundur kena, terjepit antara manajemen dan bawahan, terdesak antara kesempatan dan keterbatasan. Inilah sebabnya banyak juga kita temui pemimpin yang plin-plan, tidak bisa mengambil keputusan atau menentukan arah yang jelas, bahkan tidak jarang seolah terkesan pengecut. Pertanyaannya, dalam menghadapi situasi sulit ini, pada siapa seorang pemimpin bersandar? Pada siapa pemimpin belajar? Pada siapa ia bertumpu? Tentu saja, ia musti kembali pada dirinya sendiri. Jelas, bila dalam diri seorang pemimpin tidak terjadi pengolahan batin yang intensif, segala pengetahuan, keahlian bahkan karisma yang dimilikinya, pada suatu saat bisa jadi sumber daya yang usang.
Membangun Keberanian Moral
“Drive”, energi, keterarahan, disiplin diri, ‘willpower’ serta kekuatan saraf perlu ditempa, dilatih dan ditingkatkan. Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya bila seseorang tiba-tiba diposisikan sebagai pemimpin, dituntut untuk mempraktekkan pengambilan keputusan dan pemberian arah yang jelas, sementara ia tidak memiliki dan tidak mengasah kualitas-kualitas batinnya dengan sungguh-sungguh. Seorang ahli manajemen mengungkapkan: “Courage - not complacency - is our need today. Leadership not salesmanship”. Tidak heran pasukan-pasukan khusus yang melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa berlatih berjalan kaki sejauh 600 km dan berenang menyeberangi selat Sunda. Hanya dengan ketahanan fisik dan mental seperti ini jiwa berani, tidak kenal lelah dan kekuatan menghadapi segala kemungkinan bisa tumbuh.
Latihan kepemimpinan yang melelahkan, menekan moral, bahkan kadang membosankan, sebenarnya membawa individu kepada “moral courage” untuk menghadapi manusia, anak buahnya. Hanya dengan keberanian moral, seorang pemimpin bisa bergerak dari otoritas formalnya, menuju yang lebih informal seperti membangun collective intelligence, lalu memobilisasi anggota tim untuk memecahkan masalah dan tidak mengandalkan isntruksi ‘dari atas’ saja. Fleksibilitas dan kesejajaran ini hanya bisa diterapkan oleh pemimpin yang sudah ‘lulus’ berlatih mental. “ Leadership success is a marathon, not a sprint. “
Latihan kepemimpinan yang keras, penuh deraan baik fisik dan mental, sebenarnya tidak jauh dari dorongan pada individu untuk melihat ke dalam dirinya sendiri. Bila seorang pemimpin bisa melihat ke dalam dirinya, barulah ia bisa merefleksinya pengetahuan kemanusiaannya ke orang lain. Orang yang tidak memulai dari diri sendiri akan tampil sebagai pemimpin yang tidak peka, ‘sensing’ sering meleset, terutama karena ia tidak mengenal contoh manusia yang paling dekat , yaitu dirinya sendiri.
Sebagai pemimpin, individu perlu memikirkan strategi bagaimana mengendalikan pikiran pribadi dan emosinya. Salah satu caranya adalah dengan secara sadar mengembangkan “inner dialogue” yang jujur dan terbuka dengan dirinya. Misalnya saja, bertanya pada diri sendiri: “Apakah saya menuntut terlalu banyak? Apakah usaha yang terlalu keras ini akan menjadi bumerang? Apakah nada bicara saya memotivasi atau justru menjatuhkan mental anak buah?”. Hanya dengan keterbukaan dan kejujuran pada diri sendiri, seorang pemimpin mampu mengembangkan ‘passion’ pada kelompok, tanpa kehilangan sisi manusiawinya. Hanya dengan kepekaan yang kuatlah, arahan dan instruksi seorang pemimpin akan lebih “make sense”.
(Ditayangkan di KOMPAS, 1 Agustus 2009)