Saya terpana ketika seorang pimpinan perusahaan mengatakan bahwa salah satu kriteria utama yang ia cari saat akan mempromosi seorang eksekutif adalah orang yang pintar membuat dirinya ‘senang’. Padahal, kita tahu betapa kita ‘alergi’ terhadap sikap-sikap tidak terpuji yang diperlihatkan seorang karyawan seputar ‘menyenangkan atasan’ , cari muka atau ‘apple polishing’ itu. Konotasi negatif ini muncul karena membuat atasan senang, banyak dikaitkan dengan kegiatan berpolitik yang justru membuat atasan pada akhirnya tidak berkinerja secara realistis.
Jika dipikirkan lebih jauh, kehadiran bawahan di dalam tim memang sebetulnya adalah untuk memudahkan hidup atasannya, bukan? Atasan tentu saja lebih suka dengan bawahan yang membawa solusi daripada bawahan yang sedikit-sedikit datang membawa masalah. Tidak salah bila atasan lebih memilih bawahan yang aktif memberi suport daripada bawahan yang sibuk mengkritisi dan cuma bersikap jadi pengamat. Kita sadar bahwa atasan memang bergantung pada bawahan, dan bawahan yang suportiflah yang akan membuat tim yang dipimpin seorang atasan bisa berproduksi dengan optimal.
Kita sering, bahkan hampir selalu, tidak bisa memilih atasan. Beruntunglah kalau kita mendapatkan atasan yang baik hati, jago mengembangkan bawahan bahkan menjadi ‘coach’ bagi kita. Sebaliknya, kalau tidak beruntung, kita bisa mendapatkan atasan yang bisa membuat hidup kita tidak leluasa, menuntut tanpa mengembangkan dan tidak memberi kesempatan untuk maju. Masalahnya, apakah kita mau terjebak dalam paradigma mengharap atasan menentukan nasib kita? Bukankah hidup kita bisa lebih nyaman bila berada di posisi aktif, responsif, bertujuan, dan siap memberi dukungan ‘all out’ bagi atasan dan organisasi?
No “Yes-man”
Dalam pemikiran masyarakat, membuat atasan senang dikonotasikan dengan sikap ‘Yes-Man’. Apapun yang dikatakan atau diinginkan atasan, harus di-iya-kan, alias “kumaha juragan wae” . Tentu saja, sikap seperti ini sudah sangat basi jika masih dilakukan di jaman serba dinamis dan kompetitif seperti sekarang. Atasan perlu menyadari bahwa dia bisa kehilangan banyak informasi penting untuk mengambil keputusan yang tepat, bila dikelilingi bawahan dengan sikap mendukung yang ‘semu’. Bawahan yang melulu bersikap ‘Yes-man’ juga lambat laun akan kehilangan kredibilitas dirinya.
Seorang teman saya, malahan sangat senang memilih bawahan yang menurut persepsinya ‘bisa melawan’. Dalam kacamatanya, ia butuh ‘sparing partner’ dan orang yang mempunyai persepsi berbeda, sehingga bisa melengkapi keputusan keputusannya. Jelas hidup si atasan justru dipermudah dengan adanya pendapat, masukan dan koreksi dari bawahannya. Dengan mencurahkan pikiran terhadap ‘concern’ atasan, seorang bawahan bisa memperoleh kredibilitas lebih, melalui perdebatan dan perbedaan pendapat yang didasari analisa yang lebih mendalam.
Tidak Selamanya ‘Problem Solving’
Persepsi kita bahwa lingkup kerja atasan adalah menghadapi hal-hal sulit sering membawa kita pada pendapat bahwa ia tidak perlu dibantu untuk tugas-tugas yang ‘tidak bermasalah’. Mendukung atasan sebetulnya banyak mengacu pada mengerjakan pekerjaan yang tidak diperhatikan orang, tidak menjadi fokusnya, rutin namun krusial. Kita tidak selalu perlu menyenangkan atasan dengan beramai-ramai mengeroyok tugas-tugas yang menjadi fokus dan prioritasnya, justru karena perhatiannya sudah tumpah ke sana. Seorang ahli manajemen mengatakan tentang dukungan atasan :” “if you don’t want a no, give him/her a hand. “
Kita lihat, betapa capres dan cawapres tidak terpilih sebetulnya bisa menjadi kekuatan yang sakti bagi presiden terpilih, bila masing-masing mendekat, mengkontribusikan pemikiran, keahlian, tenaga dan profesionalisme mereka serta menyatakan dukungannya. Sepertinya, akuntabilitas mendukung atasan ini dipandang orang bukan sebagai kegiatan menyenangkan atasan. Sejauh ini, bawahan lebih bersikap sekedar mengambil tanggung jawab dan men-’deliver’ hasil sesuai yang ditargetkan. Dari sini terlihat, bahwa kita sering melupakan bahwa memberi dukungan pada atasan adalah ketrampilan penting yang perlu dikembangkan seperti halnya ketrampilan lainnya.
Dalam banyak situasi saya menyaksikan ketidakpuasan terhadap atasan disikapi dengan menjauhinya, berbicara di belakang, mencemooh dan pada akhirnya, tidak melakukan apa yang diharapkannya. Pernah saya bertanya pada seorang bawahan dari atasan yang kurang populer: “Apakah pernah terpikir untuk menggantikan posisinya?”. “Apakah pernah terpikir bagaimana rasanya menjadi atasan bersangkutan?” Dengan tidak memikirkan bahwa kitalah suatu saat nanti yang akan menjabat sebagai atasan, kita memang bisa kehilangan ‘kedekatan’ dengan posisi tersebut dan secara otomatis kita jadi seperti alergi terhadap individu yang berada di posisi itu.
(Ditayangkan di Kompas, 18 Juli 2009)