Seorang teman kerja, saat mendapat kesempatan untuk berbicara rileks dengan saya, mengeluarkan berbagai komentar tak terduga-duga mengenai situasi lingkungan kerja di bagiannya. Saya sungguh terkejut, karena dari luar, tampak tidak ada masalah dengan divisi tersebut. Ternyata, ia dan teman kerja satu divisi punya berbagai keluhan tentang atasannya. Si atasan tampaknya tidak menyadari bahwa teman-teman yang dipimpinnya mempunyai unek-unek dan berbagai masukan untuk pengembangan dirinya. Padahal, bila ditanya, semua orang berkata mereka lebih suka hubungan interpersonal yang diwarnai suasana terus terang. Ini berarti ada sesuatu yang mengganjal, membuat macetnya komunikasi, terutama bila komunikasi itu bersifat kritik pribadi, walaupun sebenarnya tidak diinginkan.
Gejala tidak berani usul, diam saja saat ketika mendapat perlakukan kurang fair atau melihat ketidakberesen, saya lihat terjadi juga pada beberapa bagian dan di banyak organisasi. Meskipun nyata-nyata tidak ideal dan tidak produktif bagi tim, organisasi bahkan bangsa, namun ketidakterusterangan seakan sudah membudaya. Kita tahu, tumbuh subur pendapat: “Sebaiknya tidak berkomentar, kalau mau “selamat” di organisasi”. Bisa jadi, reaksi negatif dari bapak dan ibu atasan saat dikritik juga membuat kita jadi tidak nyaman mengkritik. Individu yang berasal dari keluarga yang terlalu sopan, juga diajarkan sejak kecil untuk “tutup mulut” daripada dicap kurang ajar. Tak jarang, budaya ketimuran kita sebagai orang Indonesia, dijadikan kambing hitam atas sulitnya membangun budaya keterbukaan. Padahal, apakah karena kita orang Indonesia, kita tidak butuh menggarap organisasi, manajemen atau bahkan pemerintahan yang menanggapi informasi secara cermat, ‘on time’ dan dalam? Pertanyaan kita semua, bagaimana kita membangun budaya di mana setiap orang berani berterus terang sehingga informasi bermanfaat bisa beredar dengan leluasa dan dikembangkan?
Apakah kita Akan terus Menghindar?
Secara naluriah, manusia memang inginnya menghindar dari konflik maupun kenyataan yang ‘pahit’. Kita semua tahu bagaimana sakit perutnya menghadapi keluhan pelanggan. Perasaan yang sama juga kita rasakan saat menghadapi realitas adanya hubungan interpersonal yang tidak harmonis. Melihat para politisi atau negarawan saling berseteru saja kita bisa merasa tidak nyaman. Bila ada 2 rekan kerja terdekat berseteru atau saling mendiamkan, pastilah kita juga merasa terganggu. Ketidakcocokan antar divisi yang sudah menjadi masalah klasik, kalau mungkin dihindari, rasanya ingin kita hindari. Rasa tidak nyaman tentunya akan mengganggu, bila kita sendiri yang tengah mengalami tidak harmonisnya hubungan interpersonal dengan orang lain. Ini adalah mekanisme yang wajar.
Walaupun usaha dilakukan mati-matian pun, keterbukaan adalah juga pilihan yang sangat pribadi. Ada orang yang dari ‘sana’-nya memang sudah tidak mau terbuka. Menghadapi kenyataan ini sekali pun, lebih baik memulai membenahinya daripada diam saja.
Pentingnya “Campur Tangan” Manajemen
Kita lihat bahwa organisasi yang secara sungguh-sungguh menggalakkah perbaikan komunikasi menyeluruh, menunjukkan persentase kesuksesan yang lebih besar, ketimbang bila individu yang mengupayakan keterbukaan ini sendiri-sendiri. Di sebuah organisasi, upaya ini diterjemahkan dalam ‘buddy program’ yang cerdas. Individu, dipasangkan dengan ‘buddy’ atau mentor dari divisi lain. Dengan demikian, karyawan yang berada di ‘grassroot’ merasa lebih bebas untuk bersuara, karena ‘buddy’-nya bukan penentu nasibnya secara langsung, bisa lebih dipercaya dan tidak terlalu beresiko. Ini hanya salah satu upaya untuk memperlebar telinga, sambil berbesar hati sekaligus berpikir kreatif mencari solusi.
Kembangkan Ritual Komunikasi
Memancing keterusterangan, tak pelak akan membuat berbagai masalah menjadi lebih kelihatan. Atasan yang terlihat sanggup menggerakkan teman-temannya, ternyata tidak disukai anak buah. Tim yang saat bertemu tampak harmonis dan rukun-rukun saja, ternyata bersaing tidak sehat. Bila kita sudah komit untuk memancing keterusterangan, kita pun perlu sama-sama berniat mencari solusi yang bisa diterapkan, tepat saat berbagai masalah dan kenyataan terbuka. Solusi yang ditunda sama saja menguburkan masalah ke area yang lebih sulit digali lagi.
Sebagai orang yang sadar bahwa ada masalah dan berniat untuk memperbaikinya, kita tidak bisa menuntut ataupun menghukum orang lain, namun kita bisa menciptakan sistem yang bisa mendorong pembenahan hubungan secara menyeluruh. Lingkungan kerja harus diciptakan sedemikian rupa sehingga orang-orang harus secara kontinyu merasa bebas bersuara. Kita bisa secara kontinu menjalankan program umpan balik 360 derajat, melakukan perbaikan program komunikasi internal, atau merubah lay out ruangan. Pembenahan juga tidak ada artinya bila kita tidak betul-betul berniat untuk menjaga suasana di masa depan. Program sharing tentunya harus lebih sering dilakukan, perkembangan perusahaan perlu terus di-update dan berbagai ritual komunikasi harus senantiasa disuburkan. Komunikasi terbuka ini harus diupayakan sepenuh energi.
(Ditayangkan di Kompas, 11 Juli 2009)