was successfully added to your cart.

Banyak orang datang pada kami dengan keluhan ‘tidak di dengar’. “Kalau saya yang bicara, sering tidak didengar, bu.”, “Lebih baik orang luar atau pakar saja yang bicara...”. Biasanya yang langsung saya pertanyakan adalah kemampuan presentasi atau persuasinya. Sudahkah kita mempresentasikan pendapat dan ide dengan taktis, dalam ‘timing’ yang tepat?

Di sisi lain, memang kita juga melihat sendiri, sekeras-kerasnya dan sejago-jagonya seseorang ‘menjual’ pendapatnya, si pendengar bebas 100% untuk memilih apakah akan ‘membeli’ atau ‘mengacuhkan’ pendapat yang ia dengar. Tak jarang kita lihat, orang heboh berdemo, menulis di media, memasang iklan dan spanduk atau kampanye habis-habisan, namun tetap saja si pendengar, meskipun manggut-manggut, tidak bergeming, tidak mengambil keputusan, cuek saja. Persis peribahasa, Anjing mengonggong, Kafilah berlalu. Pertanyaannya, bisakah kita hidup happy dengan menutup telinga atas pendapat, usulan dan masukan orang lain? Sejauh mana kita perlu mem-“buy-in” pendapat orang lain?

Keyakinan itu Manusiawi

Pemberitaan mengenai korupsi atau perkara pidana yang demikian berbelit-belit, terbolak-balik, sering kali memang membuat kita jadi begitu sulit untuk ‘buy-in’ atau percaya pada fakta yang dipaparkan, baik di media masa atau bahkan diungkapkan secara resmi oleh otoritas. Tingginya angka ‘golput’ juga seakan menggambarkan betapa individu makin sulit untuk digugah dan sulit diajak ‘bergerak’. Orang semakin sulit diyakinkan dan sulit diajak untuk percaya pada orang lain. Ketidakyakinan terhadap ide, ajakan atau kampanye ini dilatarbelakangi oleh logika individu. Ini terjadi ketika kita sudah dewasa,terutama setelah mengalami naik-turun dalam memupuk keyakinan kita. Padahal sejak baru lahir, manusia dibekali baik secara emosional maupun secara biokimia, kemampuan untuk meyakini dan mempercayai individu yang ada di dekatnya.

Hasil riset menunjukkan bahwa kebanyakan orang lebih meyakini orang yang punya kualitas dan latar belakang sama dengan dirinya. Individu juga cepat mempercayai orang yang mempunyai pendapat sesuai dengan harapan atau ramalannya. Orang ternyata juga cenderung sangat meyakini penilaiannya sendiri. Dalam suatu penelitian yang dibuat  terhadap sekelas mahasiswa MBA, ditemukan bahwa 77% populasinya meyakini bahwa pendapat dirinya mengenai kualitas rekan sekelas dinilainya 90% benar. Ini berarti, individu cenderung sangat meyakini penilaiannya sendiri. Sekali ia percaya pada sesuatu, ia tidak mau repot-repot mengecek keyakinannya kembali. Sebaliknya, begitu ia tidak percaya pada sesuatu, ia juga cenderung tetap pada pemikirannya. Keadaan seperti ini, sebetulnya dapat kita golongkan dalam kesalahan persepsi. Bayangkan, apa jadinya situasi kerja, dinamika politik, perkembangan tim bisa berjalan dengan baik, bila kita mempunyai hambatan dalam mempersepsi pendapat dan pikiran orang lain? Bukankah  di masa di mana koalisi, kerja sama, kerja tim sudah demikian memburuk kita perlu bersama-sama berpikir keras untuk membuat keyakinan kita pada orang lain “back on track”? Bila rasa percaya tidak kita pupuk, bagaimana kita mau mendelegasi, bekerja sama, mengambil tindakan beresiko, membina hubungan bisnis bahkan memilih presiden?

Uji Obyektivitas

Teman saya sangat jago berbisnis. Orang-orang mengatakan ia punya indera ke enam dalam menjalankan bisnis. Namun, dalam mengembangkan tim, bahkan organisasi, ia banyak sekali mementahkan dan tidak percaya pada pendapat orang lain. Bila sudah tidak suka pada seseorang, hampir pasti ide orang tersebut, meskipun bagus, akan ditolaknya. Banyak proposal yang ‘mental’, sebelum selesai dipresentasikan. Lama-kelamaan orang-orang tidak berminat untuk mengemukakan ide dan gagasannya. Bukankah hal ini merugikan dirinya sendiri?

Untuk menumbuhkan rasa percaya, memupuk keyakinan, kita perlu sesekali memeriksa diri dan mengevaluasi siapa saja orang yang selama ini kita percaya dan siapa yang tidak kita percaya. Keyakinan kita ini bisa saja salah. Untuk itu, kita perlu mengecek pada orang yang ‘netral’, untuk melihat apakah penilaian dan keyakinan kita cukup obyektif.

Orang yang secara ekstrim “tidak percaya-an” pasti lebih sulit maju daripada orang yang bisa bersikap terbuka terhadap masukan. Pada tahun 80-an, perusahaan komputer, Hewlett Packard (HP), mulai memberi fasilitas pada karyawan untuk membawa pulang peralatan kerja ke rumah, termasuk hari sabtu dan minggu. Hasilnya, selain produktivitas karyawan meningkat, uang lembur tidak membengkak, HP pun jadi dikenal sebagai perusahaan yang mengembangkan ‘rasa percaya‘ di lingkungan karyawannya. Kehidupan yang dibumbui sikap terbuka akan keberbedaan dan keinginan untuk memahami pendapat orang, pastilah lebih menyenangkan dibandingkan kehidupan yang belum-belum sudah  tidak ‘buy-in’ pendapat orang.

Kritis Mempertanyakan

Sikap menutup diri, tidak mau percaya, tidak mau berpihak, memilih untuk ‘golput’, sebenarnya adalah pertanda bahwa hidup kita sudah tidak berkembang lagi. Bayangkan, apa jadinya bila kita sudah tidak mau susah-susah mempertanyakan fakta, pendapat atau dilema untuk diolah ke dalam pemikiran kita? Ini seperti hidup, tapi sudah tidak punya rasa lapar lagi.

Individu yang ingin senantiasa aktif dalam kehidupan sosial, terutama di dunia kerja, perlu menjaga kebugaran mentalnya dengan selalu mempertanyakan apa yang ada di depan matanya. Dengan mempertanyakan dan mengolah informasi yang kita terima, kita punya bahan untuk mempertebal keyakinan. Inilah yang membuat kita tidak merasa sendirian di lingkungan sosial dan memperkokoh pendirian kita. Bukankah mempertebal keyakinan adalah proses untuk menjadi lebih dewasa dan bijaksana?

(Ditayangkan di KOMPAS, 6 Juni 2009)

For further information, please contact marketing@experd.com