Menyaksikan koalisi partai-partai Indonesia, mungkin rasanya sama seperti melihat produsen mobil Fiat, Italia, yang berencana mengakuisisi Chrysler dan Operasional General Motor (GM) di Eropa, sementara GM dan Chrysler juga tengah dalam pembicaraan untuk mengawinkan dua nama besar dalam industri otomotif Amerika yang tengah mengalami kesulitan keuangan itu. Sulit rasanya membayangkan Fiat, manajemen perusahaan yang yang berorientasi efisiensi dengan produksi terpopuler Fiat Cinque Cento, mobil keluarga mungil berkekuatan ‘hanya’ 500cc, mengelola perusahaan yang memproduksi mobil ’tangguh’ dan ‘boros’, seperti Impala, Cadillac dan Chevrolet Nova. Tentunya ‘koalisi’ ini perlu betul-betul dicermati, dianalisa, dibuatkan action plan dengan sangat cerdas dan teliti, agar saling menguntungkan dan saling melengkapi. Pihak yang tadinya berprinsip ‘either-or’ menjadi ‘both-and’. Pastilah kedua belah pihak sudah mempertimbangkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: Apakah mereka akan berkooperasi atau bersaing? Apakah akan berhemat atau melakukan diferensiasi? Apakah akan membunuh beberapa produk? Produk mana yang akan ‘dikalahkan”?Apakah kuat melakukan “management without tradeoffs”?
Membangun Kekuatan Baru
Situasi koalisi atau bahasa sederhananya berkawan dengan lawan, terasa baru di dunia politik kita, namun sebetulnya sudah biasa kita lihat dalam dunia bisnis. Mega merger di Indonesia antara bank-bank milik pemerintah yang remuk, menjadi Bank Mandiri yang gagah perkasa sudah membuktikan bagaimana sebuah koalisi bisa menghimpun kekuatan, membuang kelemahan, bahkan menyatukan sumberdaya sehingga menjadi kekuatan baru yang begitu indah.
Tengok juga bagaimana aliansi marketing antara United, Lufthansa, Singapore Airlines dan berbagai maskapai penerbangan lainnya bisa mengalahkan bahkan mematikan beberapa maskapai lainnya. Strategi aliansi ini sering begitu tidak diduga-duga, proaktif dan ‘smart’, sehingga sudah mempertimbangkan bagaimana ideologi masing-masing perusahaan, saling berpengaruh pada industri masing-masing, tetapi menguntungkan setiap perusahaan. Berlandaskan ‘platform’ IT yang sama, perusahaan-perusahaan raksasa berideologi beda ini kemudian berhasil merangkul pelanggan bahkan memberi servis yang ‘wow’ kepada pelanggan agar tidak ‘lari’. Dalam dunia bisnis, tidak ada ‘magic’ yang bisa membuat perusahaan bertahan bila pelanggan lari. Cara-cara curang semacam ‘kartel’ pun sudah dibuktikan tidak akan bisa mempertahankan bisnis.
Tidak ada salahnya bila partai politik yang saat ini sedang giat-giatnya melakukan koalisi, belajar dari pemain-pemain dunia bisnis yang berhasil menyatukan dan memerangi keberbedaan, melakukan diferensiasi dan memanfaatkan ‘bargaining power’ dari setiap pihak, menanggulangi ancaman-ancaman persaingan dan permusuhan satu sama lain, bahkan menyambut kebutuhan masa depan, menciptakan kebutuhan baru secara proaktif, sehingga bukan saja perusahaan ataupun partai politik yang diuntungkan, tapi juga pelanggan, negara dan rakyat bisa ikut merasa ‘menang’.
Setia pada Tujuan
Dari literatur ilmu perang kuno Sun Tzu (500 BC), kita belajar bahwa ‘lesson no.1” untuk memenangkan sebuah peperangan adalah: “Know the situation, know the circumstances”, yaitu “kenali dirimu, kenali musuhmu, kenali situasi”. Kita hanya bisa menyusun strategi dan menang, saat kita jelas betul apa yang kita perjuangkan, tahu luar-dalam kekuatan sekaligus kelemahan yang kita miliki. Sebaliknya, bagaimana kita bisa menang jika kita tidak paham apa kesamaan dan perbedaan kita dengan lawan, serta kelemahan dan kekuatannya?
Dengan menjual sebagian sahamnya kepada Fiat, Chrysler mendapatkan teknologi atau ‘resep dapur’ Fiat untuk memproduksi mobil keluarga yang lebih hemat energi, sekaligus memanfaatkan jalur distribusi penjualan Fiat untuk mobil-mobil yang diproduksinya. Perusahaan untung, begitu pula pelanggan. Dalam politik maupun bisnis, kesemua unsur yang bisa digabungkan atau menyebabkan konflik perlu dipertimbangkan masak-masak, apakah itu senjata, ‘shared goals’ keterlibatan, ekspertis, positioning psikologis dari kekuatan masing-masing, logistik, serta iklim yang mempengaruhi semua operasi, perlu cermat dihitung dan dikembalikan kepada moral yang seragam dan harus disetujui bersama, yaitu kemanusiaan
Filosofi Sun Tzu juga telah menyebutkan, “The supreme art of war is to subdue the enemy without fighting”. Kemenangan terbesar bukanlah keberhasilan menaklukkan, tapi mengelola konflik untuk menciptakan suasana yang lebih baik bagi keseluruhan humanitas. Kalau hitungan tidak pas atau landasan tak jelas, maka yang ada kelak hanyalah disharmoni yang menyebabkan tidak berkinerjanya sebuah koalisi. Kegiatan-kegiatan bermain "kingmaker" pun wajar dalam kegiatan koalisi maupun beroposisi ini. Tarik menarik kekuatan, negosiasi, diskusi keras, debat, bahkan pemaksaan pendapat memang perlu dilakukan untuk menemukan kata sepakat. Dalam bisnis, pihak yang bernegosiasi pun akan secara keras mempertanyakan ‘Apa untungnya bagi saya?’ Dan, “Apa untungnya bagi Anda?”
Hal yang justru mengkhawatirkan adalah bahwa kegiatan negosiasi menjadi terlalu sederhana dan hanya berfokus pada pembagian kekuasaan atau lebih kongkrit lagi pembagian kursi, sementara hal-hal yang penting demi kelangsungan ideologi partai apalagi kepentingan negara tidak terpikirkan. Kesetiaan pada ideologi, yang diterjemahkan dalam bentuk kesetiaan pada partai, sangat dihormati oleh siapa pun. Bukankah kita sendiri menyaksikan bahwa orang yang setia pada ideologinya akan dikenang sebagai pahlawan? Bukankah pada akhirnya ideologinya pun bermuara pada panggilan untuk setia pada kemanusiaan, bangsa dan Negara: What’s in in for the nation?
(Ditayangkan di KOMPAS, 23 Mei 2009)