Kita memang dihujani dengan realita yang meyakinkan dan mendorong kita untuk mempertanyakan mengapa kita harus loyal pada suatu partai, suatu perusahaan, produk atau juga sekedar tontonan. Sejak usia sangat dini, anak-anak sudah jagoan ‘zapping’, memainkan remote control untuk menukar program stasiun TV. Tengok juga betapa Robinho dan Borbatov mengeruk uang transfer alias uang ‘tidak loyal’ ketika pindah ke Manchester United dan Manchester City.
Kesadaran bahwa loyalitas tidak selamanya ‘langka’, di hayati oleh kolega-kolega saya ketika mengikuti pelatihan kepemimpinan dan penghayatan bernegara dari para perwira Kopassus. “Kami sadar betapa’selfish’ dan seringnya kita menghitung – hitung apa yang saya dapat dan keuntungan jangka pendek...” sementara para prajurit senantiasa siap jiwa raga untuk mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan negara, tidak berpikir dua kali saat diminta mengerahkan waktu dan energinya untuk menjalankan tugas, walaupun harus meninggalkan keluarga, bahkan mempertaruhkan nyawa.
Bagaimana dengan perusahaan? Seorang ahli menajemen berkomentar bahwa di tahun 60 dan 70-an, loyalitas tidak dipertanyakan. Kita lihat betapa karyawan bangga ‘mengabdi’ dan mendedikasikan seumur hidupnya pada perusahaan. Loyalitas seakan sudah termasuk dalam kontrak kerja dan paket kepegawaian. Namun, saat kemudian perusahaan di analisa para ahli di pasar saham, unsur SDM mulai dianggap sebagai barang ’disposable’, seperti kertas tisu, dipakai saat diperlukan, kemudian sah – sah saja untuk dibuang setelah ‘habis’ dimanfaatkan. Munculah ‘strategi’ pengembangan sumber daya manusia seperti ‘downsizing’, ‘offshoring’, ‘sourcing’, atau teknik mengakali kontrak kerja yang berakibat pada rasa ‘tidak bersalah’-nya karyawan bila juga mengembangkan rasa tidak loyal pada perusahaan. Benarkah loyalitas sudah mati?
Loyalitas tidak lagi ‘Pasif’
Beberapa karyawan ‘smart’ yang saya wawancarai tidak merasa meninggalkan loyalitas. Tentunya bukan loyalitas yang kaku, seperti digambarkan dalam legenda tentara Nepal ketika dikunjungi utusan pasukan Jenghis Khan, yang bersedia meloncat dari menara tinggi, untuk memamerkan kepatuhannya pada sang raja. Di beberapa perusahaan yang saya kenal, karyawan mengembangkan rasa loyalitas justru melalui sikap lebih agresif, seperti “going the extra mile”, lebih membuka wawasan, sehingga bisa merasakan kompetisi di pasaran dan mengembangkan kesiagaan untuk bertindak sejalan dengan harapan manajemen perusahaan.
Dari sisi perusahaan, memang sudah tidak jamannya lagi member harapan garansi ‘employment’ seumur hidup. Perusahaan justru perlu mengekspresikan ‘loyalitas’ pada karyawan dengan cara loyal pada pada prinsip-prinsip pengembangan talenta atau empowerment, terutama bagi karyawan yang memang menampakkan ambisinya untuk mengembangkan diri. Dengan demikian, fenomena karyawan bertahan selama puluhan tahun di perusahaan tidak berarti bertahan secara pasif, namun aktif mengembangkan diri dan mendorong pertumbuhan perusahaan.
Statistik menunjukkan bahwa di Amerika pada era 90-an ke atas, rata-rata masa kerja karyawan professional adalah 4 tahun. Hal ini memang mendukung realitas bahwa karyawan merasa dirinya sebagai ‘free agent’ yang siap di rekrut oleh perusahaan manapun. Karyawan professional seperti ini pun menolak digolongkan ke dalam karyawan yang tidak loyal, karena mereka bisa membuktikan produktivitasnya di masa baktinya pada perusahaan. Hal yang mengherankan adalah adanya agen-agen ’free lance’, misalnya mereka yang bekerja di perusahaan asuransi, bisa loyal terhadap perusahaannya sampai lebih dari 20 tahun. Tentunya ada alasan yang kuat, seperti nilai-nilai positif dalam organisasi yang bagi para agen ini dilihat sebagai alasan untuk bertahan di satu perusahaan, meskipun tanpa jaminan ikatan hubungan kerja yang formal.
Loyalitas dua arah
Kompetisi mempertahankan pelanggan, salah satunya bisa kita lihat dari bagaimana perusahaan berusaha menjaga loyalitas pelanggan terhadap produk dan servisnya dengan berbagai imbalan atau iming – iming hadiah. Akhirnya, bukan kebutuhan pelanggan yang dinomor satukan, melainkan labalah yang paling penting. Pelanggan yang cermat, segera bisa merasa ‘dipecundangi’. Kita lihat bahwa loyalitas yang dibangun ‘satu arah’ dan tanpa upaya menghadirkan ‘ikatan’, kehangatan atau rasa percaya dan dipercaya, sebetulnya malah menjadikan pelanggan pun merasa sah-sah saja untuk berpindah ke lain hati.
Dengan semakin pintarnya karyawan dan pelanggan, perusahaan kelihatannya tidak mungkin lagi memanfaatkan keluguan mereka untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Ini adalah saat di mana transparansi justru bisa menjamin loyalitas. Dengan fenomena "new commerce model" dan "new consumerism", di mana transparansi disajikan sebagai bentuk pelayanan pada pelanggan maupun karyawan, setiap orang bisa membuang rasa curiganya, karena lebih bisa memonitor situasi, pesanan dan segala macam informasi yang tadinya samar. Survei menunjukkan bahwa dengan membuka kesempatan pada pelanggan untuk bisa memonitor dan mengkontrol pesanannya, loyalitas pelanggan meningkat sampai sebesar 20%. Hal ini membuktikan bahwa loyalitas justru bisa ditingkatkan bukan dengan hadiah atau janji-janji tetapi melalui rasa saling percaya dan keterbukaan.
Sebuah perusahaan kurir dunia bahkan secara terbuka mengumumkan, “In my business ... and in your business ... loyalty means caring enough to correct a bad situation.” Bila timbul masalah dalam hubungan pelanggan atau karyawan dengan perusahaan, bukan berarti harus ‘patah arang’. Kita bisa mengembangkan rasa percaya bahwa masalah akan ditangani secara serius. Kita lihat loyalitas bukan musnah, tetapi berubah bentuk menjadi lebih realistis.
(Ditayangkan di KOMPAS, 14 Maret 09)