Saya rasa, hal ini pun terjadi pada lembaga-lembaga ternama dunia seperti Enron, Arthur Anderson, atau WorldCom. Lembaga – lembaga ini dipercayai para ‘stakeholders’ nya untuk "doing the right thing". Namun, karena tidak mampu memerangi spirit keserakahan, mereka menanggalkan etika dan berbuat curang. Kita tahu, tidak sedikit perusahaan yang begitu ketatnya menyusun rambu – rambu untuk memastikan tegaknya ‘corporate governance’. Tetap saja, seringkali keserakahan dan hasrat untuk meraup untung sebanyak – banyaknya membuat orang lalu menghalalkan segala cara untuk memenangkan persaingan. Pernah saya berkesempatan menanyai seorang pebisnis, bagaimana beliau menyikapi kecurangan yang dilakukan para kompetitornya. Sungguh surprise saya mendengar jawabannya yang gagah berani,”Itu bukan curang, itu namanya ‘streetsmart’! Kalau orang curang, kita mesti lebih curang lagi.” Astaga! Sudah bergeserkah definisi ‘streetsmart’ untuk era ini?
Jadi, apakah di jaman sekarang, sudah sah – sah saja , manusia merendahkan martabat dirinya dengan berbuat curang, tidak etis, dan menang ‘at all cost’? Bagaimana dengan politik dan kampanye caleg, yang juga mempertontonkan betapa ‘pemanfaatan segala cara diupayakan, sekedar untuk memenangkan persaingan? Apakah etika dan moral benar - benar sudah tidak punya daya jual?
“Back to basic”
Di jaman susah begini, banyak orang sudah bersyukur meskipun gaji tidak dinaikkan atau bonus tidak dibagikan, daripada diberhentikan atau dikurangi gajinya. Tak pelak, kita terkagum – kagum juga ketika membaca bahwa para eksekutif top wallstreet malah mendapat bonus, yang ‘ruaarrr biasa’ banyaknya. Saya surprise, ketika sebuah majalah Amerika, mengulas bahwa dalam krisis tahun 1997, dua buah perusahaan besar di Indonesia malah menaikkan gaji karyawan terendahnya dari budget potongan gaji para eksekutifnya. Bukankah kalau dipikir - pikir ‘basic’ keperluan karyawan paling bawah, sebetulnya sama dengan keperluan dasar si eksekutif? Kata orang :”what's good for the gander is good for the goose”, gizi yang diperlukan seorang pegawai rendahan sama dengan gizi untuk eksekutifnya. Jika memang persentase kecil dari gaji eksekutif bisa dialokasikan untuk perbaikan kesejahteraan karyawan sehingga meningkatkan motivasi karyawan, mengapa tidak? Bukankah dengan melakukan hal ini, kita bisa menunjukkan sisi kemanusiaan dan memenangkan pertimbangan etika? Dengan ‘berbagi’ seperti ini, para eksekutif akan mampu menghilangkan ‘rasa bersalah’ karena tidak mengeksploitasi hak dan kepentingan bawahan, bahkan jadi punya kemampuan untuk berteriak dan bertindak lebih lantang. Kita memang sering kalah pada kecurangan, tetapi dengan ke-pede-an kita untuk benar benar memilih ‘the right thing to do’, enerji lebih yang berasal dari semangat anak buah dan ‘rasa kebenaran’ bisa melipatgandakan hasil .
Seberapa Penting Menjaga Kredibilitas Diri Kita?
Beberapa staf saya terkejut ketika memeriksa tagihan kartu kreditnya, karena biaya keanggotaan kartu yang awalnya diinfokan gratis seumur hidup, ternyata di-‘charge’ tanpa pemberitahuan terlebih dahulu atau dinaikkan diam – diam. Banyak di antara mereka yang kemudian menutup kartunya karena merasa telah ‘dicurangi’. Di satu sisi, banyak pihak sudah mengalami keuntungan dari keanggotaan sementara ini. Penjual kartunya sudah mendapatkan reward, si pelanggan sudah menikmati bebas biaya setahun, sementara bank sudah mendapatkan bunga dari pembayaran yang dilakukan oleh pelanggan. Namun, yang tidak diperoleh selanjutnya adalah ‘kredibilitas’ terhadap produknya dan bahkan terhadap lembaganya. Cara-cara hardball dan “hit and run” begini memang kita akui cepat meraih hasil, namun berdampak jangka pendek, tidak berbobot, dan toh akhirnya kalah juga.
Kita pun sebagai individu, profesional, pebisnis maupun politikus tentunya harus juga sadar bahwa diri kita adalah produk atau memiliki jasa atau konsep yang ‘dijual’, baik pada perusahaan, pelanggan maupun rakyat atau masyarakat. Ketimbang melakukan praktek – praktek yang memberi untung sesaat, lalu buntung dan bahkan mencemarkan nama baik kita sendiri, tentunya kita perlu jeli dan lebih mempertimbangkan kredibilitas serta ‘life time’ dari produk atau jasa yang kita berikan. Hanya bila kita menjunjung etika dan berorientasi untuk meningkatkan mutu kehidupan serta merespek sesama-lah kita baru bisa menepuk dada dan menjaga kredibilitas kita dari waktu ke waktu, bukan?
Apakah Kita Punya Visi yang lebih Luhur?
Teman saya yang baru saja ditawari untuk menjadi kader sebuah partai, dinasehati oleh ayahnya, bahwa ia harus punya visi, setidaknya 10 tahun lagi, sudah musti jadi caleg. Wah, kalau visinya hanya sependek itu, apakah dengan mencapai kedudukan sebagai anggota legislatif akan bisa memberikan kebahagiaan pribadi?
Pernahkah kita bayangkan apa nilai yang akan kita dapatkan bila jabatan sudah kita raih dan tumpukan uang melimpah sudah kita kantongi? Bukankah uang, kuasa dan jabatan tidak mempunyai nilai ‘intrinsik’? Uang hanyalah bernilai untuk sekedar memenuhi kebutuhan kita saja. Dan kita diberi nilai oleh individu lain dari seberapa ‘cerdik’ kita memanfaatkan uang, ‘power’ dan jabatan kita. Dengan demikian, setiap individu perlu berpikir keras untuk menentukan tujuan akhir dari segala upayanya, setelah mendapat banyak uang, power atau kedudukan. Itulah sebabnya pertimbangan etika, peningkatan mutu kemanusiaan, perbaikan cara hidup berkeluarga, peningkatan level spiritual bagi kita, anak buah, anggota tim, atau bahkan ‘rakyat’, tetap perlu menjadi sasaran utama. Sejauh mana kita bisa membawa perbaikan dan memberi kontribusi-lah yang tentunya baru bisa membuat diri kita merasa berharga dan lebih bahagia di jaman yang serba kompleks dan modern ini. Jika kita ingin hidup kita lebih bermakna, tentu saja kita perlu memikirkan visi yang lebih luhur, luas tapi tetap konkrit dan membahagiakan, misalnya saja meningkatkan kecerdasan bangsa, menaikkan nilai ekspor negara atau meningkatkan pendapatan perkapita rakyat Indonesia.
Keinginan kita untuk menjadi nomor satu memang sangat penting, kita memang harus bermental juara, namun hal itu tidak usah kita lakukan dengan mengurangi harga kita sabagai manusia, terutama bila kita adalah pemimpin, apalagi pemimpin bangsa.
(Ditayangkan di KOMPAS, 21 Februari 2009)