Seorang guru pernah mengatakan pada saya bahwa mengasah manusia bekerja jauh lebih mudah daripada mengasuh-asah murid di sekolah. Alasannya, bibit yang masuk ke perusahaan adalah bibit-bibit pilihan, sementara yang masuk ke sekolah, masih tercampur aduk. Hal ini memang ada benarnya. Namun, teman saya ini lupa bahwa mengajar di sekolah ataupun di universitas, seperti yang saya alami sendiri, sangat dimudahkan oleh niat mahasiswa untuk belajar dan untuk lulus ujian, sehingga si pengajar biasanya lebih punya ‘power’. Di perusahaan, terasa betul betapa manusia dewasa ini punya pilihan untuk belajar ataupun tidak belajar, serta ingin menentukan cara belajarnya sendiri. Sarana pelatihan, “sharing knowledge” maupun seminar yang sudah susah-susah diupayakan dan diselenggarakan oleh perusahaan untuk mengembangkan talenta, tak jarang disepelekan. Sebagai fasilitator pelatihan di perusahaan, teman saya geleng-geleng kepala bila melihat sikap-sikap manusia dewasa yang terlihat tidak bersemangat lagi untuk belajar, seperti titip absen, banyak bercanda, datang terlambat, merayu trainer untuk menyelesaikan sesi lebih cepat, sibuk ber-sms, menelpon berlama-lama, ataupun sengaja memperpanjang-panjang waktu istirahat.
Bila bicara mengenai pabrik talenta, banyak orang langsung menarik nafas panjang dan mengisyaratkan ‘frustrasi’. Mulai dari yang lemot, sampai yang tidak ada motivasi. Singkat kata, di samping kesulitan fungsional kita juga menghadapi kesulitan vitalitas, dari yang ingin memperkaya asset maupun yang akan dijadikan asset. Sebagai akibat, banyak manajemen perusahaan yang kemudian memutuskan untuk ‘membeli jadi’ saja orang bertalenta dan menomorduakan pengembangan sumber daya manusia di tempat kerjanya.
Membangun talenta bukanlah hal baru. Selain itu istilah talenta bukanlah ditujukan hanya kepada orang orang yang berbakat special (baca: gifted), yang populasinya hanya seperberapa persen dari populasi dunia. Adanya ‘welders’ Indonesia alias tukang las bersertifikat yang bekerja secara global, bukan hal yang terjadi kemarin sore. Tukang kayu yang mumpuni secara teknis, dan bekerja rapih dan teliti , juga adalah individu bertalenta dan bisa membawa devisa negara. Keadaan sekarang di mana ketersediaan orang bertalenta tidak seimbang dibandingkan kebutuhannyalah yang menyebabkan kita tidak bisa berlama-lama menunggu agar talenta sumber daya manusia kita matang.
Kesulitan pembinaan talenta perlu kita sikapi secara optimistis, terutama karena jumlah manusia di negara kita yang demikian banyak, sehingga menggambarkan potensi kekuatan ‘human capital’ yang tidak terhingga. Bukankah kita sudah membuktikan terciptanya kampung pengrajin tas di Tanggulangin? Bayangkan bila kemudian di salah satu kampung kita, berkembang ketrampilan IT yang hebat, sehingga bisa menelorkan programmer-programmer kelas dunia seperti programmer asal Bangalore, India.
Gantung Standar yang Super-Tinggi
Organisasi yang sanggup menelorkan manusia bertalenta, biasanya mempunyai standar kinerja yang menuntut individunya bekerja mati-matian untuk mencapai presisi dan keunggulan kinerja, tidak tanggung-tanggung. GE adalah contoh perusahaan yang tidak ragu-ragu menuntut para top manajemennya untuk berkinerja lebih. Perusahaan ini juga menjunjung tinggi nilai-nilai profesi yang distandarkan dan senantiasa diujikan ke setiap eksekutif. Tidak lolos ujian berarti keluar dari perusahaan. GE juga adalah contoh perusahaan yang memperhatikan dan melakukan pendekatan pada setiap individu di perusahaan secara utuh dan unik, sampai kepada kesejahteraan keluarganya. “Tidak ada formula yang general untuk membentuk talenta individual”, demikian ujar CEO General Electrics.
Dapatkan hatinya dulu
Salah satu hal yang sering menghambat dalam pengembangan talenta adalah bila kita melihat talenta sebagai sesuatu yang melulu ‘vocational’, sehingga fokus kita hanya memompakan ilmu dan ketrampilan pada individunya. Saat individu dinilai seharusnya ‘sudah lulus’ dan ‘bisa dilepas’, pada kenyataannya tak jarang kita frustrasi sendiri bila kita tidak melihat pembelajaran yang diberikan membuahkan hasil yang diinginkan. Ternyata, kita masih sering lupa bahwa individu yang bertalenta adalah individu yang selain pandai, juga bermotivasi tinggi, berinisiatif dan kuat dalam menyambut tantangan. Artinya, latihan ketrampilan teknis saja, sama sekali tidak menjamin terbentuknya talenta yang kita inginkan. Individu bertalenta, sudah hapal mati prosedur kerjanya, sudah menikmati seni berprofesinya, bahkan mempunyai semangat yang memancar dari kinerjanya, apapun profesinya.
Tentunya kita semua setuju bahwa tanpa perhatian sepenuh hati, individu tidak mungkin menguasai suatu ketrampilan sampai tuntas. Adanya ‘passion’, konsentrasi dan fokus-lah yang akan membuat individu bisa memberikan seluruh perasaan dan enerjinya untuk menguasai suatu ketrampilan dan pengetahuan. Jangan anggap sepele pernyataan: “companies need to not only capture people's minds but their hearts”. Bila dalam mengembangkan individu kita juga menstrategikan program yang menyentuh hatinya, membuatnya ‘excited’, membawa individu merasakan secara langsung, barulah bisa kita lihat pembelajaran membuahkan hasil yang lebih nyata. Saat kita serius melakukan komunikasi efektif dan tidak lelah memacu, mendera, memonitor kemajuannya, barulah pengembangan ‘mindset’ dan prinsip kerja berkualitas dan professional akan menyertai pembelajaran yang diberikan.
Dalam mengembangkan pabrik talenta yang efektif, suasana belajar perlu dibuat kondusif. Hubungan psikologis dilandasi trust dan respect antara manajemen dan individu-lah yang juga akan membentuk sikap belajar individu. Individu perlu mendapat kesempatan untuk mengeluarkan ide , berani bereksperimen, berinovasi dan merasa aman bahwa ide dan buah pikirannya akan dihargai dan ditanggapi. Talenta yang optimal hanya di tampilkan oleh individu dewasa yang ‘self directed’ dan tertantang untuk menyandang tanggung jawab lebih. Bila kita sudah memahami bahwa pikiran, pengetahuan, ketrampilan manusia bisa berkembang tidak berbatas, mengapa tidak kita bersikeras mengembangkannya mati-matian?