Semua orang pasti setuju dengan “magic”-nya puasa di bulan Ramadhan. Kekuatan niat yang begitu besar menjadikan kita yang tadinya tidak kuat menahan haus dan lapar di hari biasa, di bulan Ramadhan bisa melakukannya tanpa merasa berat. Bahkan, dengan puasa penyakit malah sembuh, badan terasa lebih ringan. Latihan kesabaran, kegigihan dan keuletan ini memang benar-benar memberi kesempatan pada diri kita sendiri untuk lebih banyak bertakwa, lebih bisa mengelola diri sendiri dan tentunya “naik kelas” sebagai manusia. Suatu latihan yang sangat berharga untuk individu yang memang ingin mematangkan jiwanya!
Tantangan kita, tentu saja, me-maintain kompetensi kontrol diri, emosi dan pikiran ini setelah usai masa Ramadhan. Sayang sekali bila kita kembali ’loss control’, sehingga upaya latihan kita selama Ramadhan tidak kelihatan impact-nya. Misalnya, kita kehilangan kontrol diri lagi dengan kembali memborong barang yang tidak perlu, boros energi, melanggar lampu lalu lintas, terlambat datang ke kantor, sehingga semangat untuk bersabar dan menjadi manusia yang gigih kembali ke titik nol lagi.
Seorang rekan, yang naik bobot badannya 20kg semasa hamil, menjamin bahwa berat badannya bisa kembali seperti sedia kala dalam waktu 4 bulan. Ketika ditanya kunci kesuksesannya, ia menjawab santai: “Puasa”. Ia mengatakan bahwa dengan berpuasa senin kamis, ia mempunyai kontrol diri terhadap pola makannya. Tiba-tiba ia menyadari bahwa selama ini ia makan berlebihan dan menciptakan mekanisme persepsi terhadap makanan yang beda. Akhirnya pola disiplin dan pola makannya berubah. Ini adalah contoh orang yang memanfaatkan latihan sebagai sarana peningkatan kualitas diri.
Kontrol Diri adalah Senjata Perubahan
Tidak seperti burung-burung yang bermigrasi secara otomatis saat pergantian musim, manusia, mahluk berakal budi paling super di muka bumi ini, memang tidak bisa mengandalkan instingnya lagi untuk berdisiplin. Manusia digerakkan oleh ‘habit’nya. Manusia juga pengambil keputusan yang sangat berbasis emosi, juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, sehingga ia mudah sekali merubah atau melanggar rencananya sendiri. Itulah sebabnya orang bisa memanfaatkan emosi untuk bisnis, misalnya dengan membuat tren, membentuk komunitas, merangsang konsumerisme dan tanpa sadar menghancurkan pertahanan kontrol diri individu.
Untungnya, keunikan individu membuat manusia mempunyai kontrol penuh atas kemauannya, apakah ia akan memenuhi kebutuhannya atau tidak, memilih kapan ’timing’ terbaik, memilih di mana mendapatkannya dan mengontrol dengan cara apa ia akan memenuhi kebutuhannya. Contoh mudah, kita yang sudah berniat berhenti merokok, tiba-tiba ada di kerumunan perokok, yang menawarkan rokok pula. Pada saat ini, keputusan untuk memilih adalah seratus persen disadari oleh individu. Namun impuls, kebutuhan, keinginan individu bisa berkolaborasi dalam melemahkan kontrol dirinya. Pada saat inilah biasanya rasio atau pikiran individu bekerja, untuk mencari alasan pengampunan terhadap pelanggaran dirinya, untuk mengurangi rasa bersalah, sehingga individu tetap merasa ’seimbang’. Situasi ini kita kenal dengan istilah rasionalisasi alias pembenaran. Pembenaran ini semula hanyalah dialog internal. Namun, bila individu berhadapan dengan lingkungan sosial, maka ia akan menyusun cerita pembenaran yang bisa diterima, sehingga perbuatannya tetap cocok dengan situasi. Disinilah pertahanan kontrol diri bisa bobol dan tanpa sadar, tindakan pelanggaran di-”bela” oleh individu sendiri. Bisa kita bayangkan bagaimana sulitnya berubah tanpa kontrol diri yang kuat. Sebagaimana kita sadari, banyak yang berteori mengenai perubahan tetapi tidak sadar bahwa kuncinya justru ada pada kontrol dirinya. ‘Everybody thinks of changing humanity and nobody thinks of changing himself’ (Leo Tolstoy)
Disiplin sebagai Implementasi Kontrol Diri
Di jaman sekarang, kita jarang menemui orang yang sangat bangga dengan sikap disiplinnya. Bahkan disiplin dikaitkan dengan hukuman,
Untungnya Menjadi Orang yang Terkontrol
Banyak orang mencampuradukkan sikap mengontrol diri dengan sikap kaku, keras, tegang atau terhambat. Sikap ini tentunya sangat berbeda, karena orang yang bisa mengkontrol dirinya, sangat mampu untuk bersikap fleksibel pula. Sementara yang kaku dan terhambat, bisa saja tampil terkontrol, tetapi mudah patah, dan bahkan bisa meledak, lepas kontrol. Orang yang terkontrol biasanya akan tampil tepercaya di pergaulan dan pekerjaan, berintegritas dan yang paling penting, mempunyai daya adaptasi terhadap perubahan. Orang dengan kontrol diri yang baik akan mudah menjadi orang yang inovatif, bahkan dalam pergaulan bisa mengembangkan ‘sense of humor’ dan empatinya. Bagaimana tidak? Orang seperti ini sudah mengalami gemblengan latihan kontrol diri, di luar kewajiban puasa, secara berjuta-juta kali.
(Ditayangkan di KOMPAS, 20 Agustus 2008)