Tanpa menggunakan alat ukur yang reliabel, kita semua bisa membedakan ‘rasa’ di dalam dada kita saat melihat foto atlet Indonesia di halaman muka Kompas memamerkan medalinya dari Ajang Olimpiade, dibandingkan dengan melihat foto model koruptor yang sedang dalam proses ‘didandani’. Rasa yang ’melambung’ bila masuk dalam situasi ‘pemenang’ dan sebaliknya rasa ‘terpukul’ dalam situasi ‘pecundang’ sangat mudah kita bedakan. (Ditayangkan di KOMPAS, 23 Agustus 2008)
Saat situasi ‘pecundang’ lebih sering kita alami, rasa pahit yang bertubi-tubi bisa tergantikan dengan rasa terpuruk, pesimis, bahkan bila tidak hati-hati bisa mengakar menjadi sikap apatis dan cuek terhadap situasi sekitar. Dalam situasi negara yang sulit begini, baik kondisi moral maupun material, mau tidak mau media massa memberitakan realita yang membuat kita sulit menepuk dada kemenangan. Lebih kecut lagi, bila kita sedang tidak beruntung, dan bertemu dengan individu berbangsa lain, yang dengan sinis membeberkan kelemahan bangsa kita, seperti kesenjangan antara kaya dan miskin, konsumerisme orang-orang berduit, lemahnya solidaritas dan korupsi yang merajalela. Menghadapi situasi ini, berat rasanya bisa ‘merasa menang’, mengangkat dagu dan tetap bersemangat pemenang. Pertanyaannya, haruskah kita merasa terpuruk terus, dan menunggu terus sampai keadaan Negara dan ekonomi lebih baik, lebih bersih dan lebih makmur?
Disadari atau tidak, sikap pecundang yang terpelihara seperti ini tentunya akan mempengaruhi kinerja kita dalam porsi yang lebih mikro, misalnya di perusahaan, dan akan mempengaruhi “fighting spirit” kita secara umum dalam bersaing bisnis dengan negara lain. Bisa-bisa kita tergiring oleh lingkaran setan dan semakin tenggelam dalam ke-’pecundang’-an dalam rasa. Vince Lombardi, seorang coach american football legendaris tahun 50-an mengumandangkan: ``Winning isn’t everything, it’s the ONLY thing”, sementara kita di sini masih sibuk dengan memenuhi pikiran dengan rasa cemas karena semangat korupsi yang tidak kunjung padam, tidak meyakini bahwa pembayaran pajak akan kembali kepada kesejahteraan rakyat, merasa sulit memprediksi sukses, bahkan menyembunyikan perasaan’kalah’ dengan bersikap jumawa. Kita semua tahu bahwa bersemangat pemenang itu positif, namun demikian kita tidak gampang memenangkannya tanpa upaya.
Pemenang yang Sehat Memperhitungkan Kekalahan
Teman saya, anak sulung harapan keluarga, selalu ‘dimenangkan’ oleh orangtuanya dan kebetulan jarang sekali menghadapi kegagalan, baik dalam pendidikan, berorganisasi dan aspek kehidupan lainnya. Keadaan menang terus-menerus ini menyebabkan ia tidak akrab dengan kekalahan. Sebagai akibat, sikapnya jadi tidak mau menghadapi kekalahan, apapun aturan dan konsekuensinya, alias “tidak mau kalah atau mengalah”. Teman kita ini memang sering menang, tetapi ia belum mempunyai “mindset” pemenang yang sebenarnya, karena ia tidak siap kalah. Orang seperti ini bahkan ada yang bisa menghalalkan segala cara demi mempertahankan posisi pemenangnya.
Orang yang berusaha menang secara obsesif semata untuk mendapatkan penghargaan, menghindari rasa malu, biasanya tidak bisa mengatur enerji, sehingga dalam situasi kalah ia tidak siap bahkan menunjukkan kemarahan. Mungkin kita masih ingat betapa petenis juara, John McEnroe, yang mengekspresikan kemarahannya dalam banyak situasi pertandingan yang bermasalah baginya, sehingga mengesankan dirinya bukan sebagai pemenang tetapi justru pecundang. Kita perlu sadari bahwa sikap pemenang tidak selalu membawa kemenangan, tetapi justru kita perlu tetap mempertahankan “mindset” pemenang dalam situasi apapun.
Menang yang sebenarnya adalah termasuk memperlihatkan komitmen, kebesaran jiwa dan penghargaan terhadap aturan, aturan main, sistem dan prosedur yang sudah dibuat. Komitmen terhadap semua konsekuensi yang perlu ditanggung, menyebabkan kita bisa berangkat ke suatu situasi dengan sensasi dan memori positif, sehingga dampak emosi positif ini berubah menjadi energi positif. Inilah mindset pemenang yang sebenarnya.
Berniat Benar, Bergerak, Bertindak
Ayah saya selalu mengingatkan, bahwa sejahat-jahatnya perbuatan seseorang, pada dasarnya manusia normal itu ingin melakukan hal-hal yang benar dan baik, bukan karena diperintahkan, tetapi memang secara natural mempunyai sikap demikian. Kenyataan ini sebenarnya cukup menjadi dasar semua keyakinan kita untuk senantiasa merasa kuat, benar dan baik, terlepas dari apakah situasi yang kita hadapi kondusif atau yang kurang menguntungkan. Namun, sikap merasa berniat benar ini saja belum cukup. Tengoklah betapa banyak orang, penulis, kritikus, politikus, ahli-ahli yang betul-betul merasa benar, namun tidak menyambung perasaan ini dengan komitmen untuk berusaha, berubah, bertindak, mengubah kebiasaan diri, orang lain dan membangun sukses. Sebuah kalimat bijak mengatakan: “Winners actually SEE their success BEFORE it happens”, tetapi melihat saja tidak cukup. Untuk menang atau mempunyai jiwa pemenang kita harus bergerak, bertindak, dan “masuk” ke lapangan, bukan menjadi penonton saja.
Semangat Pemenang Perlu Dipelihara
Dalam penutup email dan smsnya, seorang teman sering menuliskan kata penyemangat pada rekan-rekan kerjanya. Semula saya sendiri kikuk menerimanya, tetapi lama-kelamaan timbul emosi positif dan semangat menularkannya juga ke orang lain. Tanpa kita sadari kata-kata bisa sangat “powerful” untuk membangkitkan mindset pemenang, karenanya perlu dipilih secara hati hati.
Kita juga perlu memelihara semangat pemenang ini dengan berlatih berada di bawah tekanan. Target penjualan yang ditingkatkan terus, tingkat kesulitan pekerjaan yang ditambah, berjuang untuk jabatan yang lebih tinggi, adalah upaya untuk membiasakan diri menguatkan mental dan mempertebal kepercayaan diri untuk menghadapi kesulitan yang tidak kunjung berhenti.
Hal yang juga senantiasa perlu ditemukan individu dalam kehidupan berkarya adalah perasaan bangga atas hasil kerjanya, di mana seorang tukang sapu harus sama bangganya atas hasil sapuannya seperti Michelangelo bangga terhadap hasil sapuan kuasnya.
(Ditayangkan di Kompas, 23 - Agustus - 2008