Pada sebuah acara makan siang seorang teman mengeluhkan suasana kantornya, sebuah perusahaan multinasional, yang sarat dengan kegiatan ‘berpolitik’. Di tempat kerjanya, berkembang ‘klik-klikan” makan siang ataupun jemputan yang kemudian menjadi hubungan tertutup, yang sangat erat satu sama lain, di mana mereka berbagi gossip dan fakta, menunjukkan sikap subjektif dalam melihat masalah dan bahkan mempengaruhi penunjukan dan pemilihan anggota tim. Teman saya yang lain kemudian berkomentar, “Yaaah.., kalau sudah ada lebih dari dua orang karyawan dalam satu tim, sudah pastilah ada ‘politik’-nya”.
Teman saya, yang bekerja di sebuah perusahaan berukuran sedang merasa bahwa ia juga harus melakukan kegiatan “lobby”, mengikuti kegiatan-kegiatan minum teh bahkan mempersuasi pengambil keputusan, ketika ia berusaha menjalankan rencana mengubah “operating system” jaringan informasi di perusahaannya. Melihat bahwa ia benar-benar berjuang demi penggantian sistem tanpa berniat mendapatkan kedudukan, kedekatan dan power bagi dirinya, saya lantas menanyakan hal apa yang dia bela mati matian. Dengan santai ia menjawab bahwa yang ia bela adalah sekedar kinerja pribadinya. Tanpa “kasak-kusuk” , bujuk membujuk, sikap super baik, dan mendekati orang-orang kunci, ia tahu tidak mungkin ia berhasil menjalankan perubahan yang menyulitkan di perusahaan tanpa adanya dukungan. “Sebenarnya saya tidak idealis – idealis amat. Saya tahu bila penerapan sistem ini gagal karir saya akan terhambat” .
Ketika dalam suatu rapat, CEO perusahaan tempat saya bekerja mengumumkan bahwa rekrutmen di perusahaan ini menganut sistem keluarga dan pertemanan, saya baru memahami bahwa di dalam berorganisasi ada realitas berpolitik yang perlu dicermati. Hal ini menyangkut siapa dekat dengan siapa, siapa mempunyai pandangan yang sama dengan yang mana, siapa pemain kunci dan siapa sekedar pengikut atau penggembira. Jejaring pertemanan yang berdasarkan kedekatan masa kecil, almamater, kesamaan pandangan maupun ideologi biasanya merupakan lahan berpolitik, baik di perusahaan maupun di organisasi lainnya. Sama seperti strategi perang, berpolitik pun memerlukan pemetaan dan perencanaan yang mapan.
Dalam organisasi apapun, kita hanya bisa eksis bila mempunyai kontribusi yang signifikan. Bila kita amati orang yang pandai me-“lobby” dan berpolitik, sementara produksinya ‘kosong’, maka orang ini lambat laun tidak bisa meneruskan karirnya. Kekuatan kita dalam berproduksi merupakan modal agar kita bisa “diperhitungkan” dalam peta sosial organisasi. Individu yang produksinya di atas rata-rata tinggal mengasah cara berinteraksi, berapat, mendekati atasan dan orang-orang kunci, serta membuat diri lebih diperhitungkan dengan berusaha lebih bermain fakta, membina hubungan emosional yang sehat, berusaha menonjolkan orang lain tanpa lupa memunculkan diri sendiri. Kontribusi yang sudah kita tunjukkan jangan sampai dikotori dengan mempraktekkan cara gaul murahan seperti bergosip, menekan, menyalahgunakan jabatan, mencari muka tanpa alasan.
(Ditayangkan di KOMPAS, 28 Juni 2008)