Ketika diminta oleh lembaga keuangan paling bergengsi di negara kita ini untuk mendefinisikan ‘maturitas’ alias ‘kematangan’, dalam rangka seleksi calon pimpinan, dengan fasih saya mendeskripsikan lima persyaratan kematangan pribadi yang saya pelajari dari almarhum dosen Psikologi Kepribadian di universitas, yaitu: berpikir obyektif, berpikir positif, mampu mengendalikan dan menyalurkan emosi, bertanggung jawab, serta mampu membina hubungan interpersonal yang harmonis dan konsisten dalam waktu yang relatif panjang. Bagi saya, materi ini adalah hafalan utama yang sudah tertanam sejak di awal bangku kuliah. Namun kemudian, saya berpikir sendiri, mengapa hal ini diangkat ketika ada pemilihan calon pemimpin?
Bagi kebanyakan orang, kematangan ditandai dengan kedewasaan yang diindikasikan dengan keberanian memasuki jenjang perkawinan, punya penghasilan sendiri serta lepas dari bimbingan orang tua. Namun, terutama dalam situasi menekan, kritis dan berisiko, kita sendiri kemudian dapat menyadari ataupun menyaksikan bahwa respons individu sering menunjukkan ketidakdewasaan. Seorang atasan bisa saja “mengecilkan” harga diri bawahannya sedemikian rupa, sehingga setiap individu yang menyaksikan kejadian tersebut bisa melihat bahwa sang atasan-lah yang tidak bijaksana. Seorang professional pun bisa tidak mengakui kesalahan yang dibuat, bahkan menuding orang lain yang perlu bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuatnya. Bila dibahas lebih dalam lagi, maka kita bisa menyimpulkan bahwa tidak bijaksananya individu disebabkan karena ia belum mencapai tingkat kematangan yang diharapkan baik oleh lingkungan maupun oleh dirinya sendiri.
Seorang teman saya, membutuhkan waktu sangat panjang untuk meninggalkan pekerjaannya yang sangat nyaman namun tidak memancing tanggungjawab, bahkan memperlakukannya sebagai robot. Pekerjaannya demikian bertumpuk, sehingga selama lebih dari 5 tahun, ia tidak punya kesempatan menampilkan kemampuannya untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Ketika ia memberanikan dirinya untuk meninggalkan pekerjaan tersebut, ia merasakan banyak kekurangan dirinya, baik dalam ketrampilan teknis dan juga hubungan interpersonal. ”Saya merasa dibutakan dalam lingkungan yang nyaman. Saya merasa ketinggalan” katanya. Untung saja teman kita ini masih mempunyai kemampuan untuk menyadari kekurangan dan mempunyai hasrat untuk mengembangkan diri.
Tindakan ”hara-kiri” (bunuh diri demi kehormatan) memang sudah tidak banyak terjadi di Jepang, negara di mana kebiasaan itu dilakukan oleh para Samurai di jamannya. Di jaman modern ini, mungkin budaya seperti itu tampil dalam bentuk budaya ”shame and guilt” alias malu, seperti.tindakan mengundurkan diri pejabat yang bertanggung jawab terhadap kejadian yang merugikan atau mencelakakan orang lain atau negara, sekedar untuk membuktikan sikap ksatrianya . Seorang ”guru” mengatakan”Maturity is humility. It is being big enough to say, ‘I was wrong’. And, when right, the mature person need not experience the satisfaction of saying, "I told you so."
(Ditayangkan di KOMPAS, 10 Mei 2008)