Lima belas tahun lalu seorang teman saya, yang sekarang sudah menjadi Doktor, Kristi Purwandari, secara menggebu-gebu mengutarakan obsesinya dalam menggalakkan, mempermudah, men-“support” dan memajukan perempuan. Ketika itu saya tidak terlalu berempati padanya karena saya beranggapan bahwa ke-”kalah”-an atau kelemahan perempuan dilatarbelakangi oleh persepsi diri dan masyarakat saja, sehingga otomatis akan berkembang sesuai jamannya. Saat sekarang, di mana dunia kerja begitu membutuhkan orang-orang pintar dan professional, terasa bahwa anggapan saya tidak 100% benar. Ternyata, kita memang perlu sekali menaruh perhatian pada wanita, dalam hal ini tenaga kerjanya, yang bila tidak hati hati akan terbuang percuma.
Bayangkan data yang dicatat oleh departemen tenaga kerja di Amerika: 22% wanita yang bertitel dan berpendidikan tinggi tidak bekerja, sementara 66% wanita yang tidak bekerja penuh sebenarnya mendambakan kerja “full time” dan “all out”, tetapi terhambat oleh peraturan perusahaan dan kewajiban rumah tangganya. Bukankah kenyataan ini berarti membuang-buang tenaga kerja potensial dan intelektual pula? Nampaknya, diam-diam, baik laki laki maupun perempuannya sendiri, baik perusahaan sebagai otoritas atau bahkan pemerintah, belum menaruh perhatian detil dalam mengoptimalkan potensi perempuan dalam industri, sehingga potensi wanita ini tetap tidak tergarap.
Ketimpangan yang Terus Berlanjut
Tidak hanya disuarakan oleh wanita, para CEO, DPR, menteri, bahkan presiden setuju bahwa wanita perlu perhatian khusus dan mendapatkan hak yang lebih setara dengan pria. Dalam realitas, kita sama-sama tahu bahwa gaji wanita rata-rata lebih rendah daripada pria untuk pekerjaan yang sama. Bahkan tercatat di golongan top eksekutif yang berpenghasilan tertinggi, jumlah wanitanya hanya 6,4%. Pria pun tercatat lebih tinggi 2,5 kali kemungkinannya untuk menduduki posisi manajer. Dalam pembagian tugas di kantor, tugas yang menantang tanpa sengaja lebih banyak dilimpahkan pada pria. Pemimpin wanita yang dominan, tegas, dan ambisius dinilai tidak feminin dan dianggap tidak wajar.
Sebaliknya dalam rumah tangga, wanita sebagai ibu memang tetap memegang peran penting, ketimbang pria sebagai ayah. Bila ada masalah dengan anak sakit, pembantu mudik, maka wanitalah yang akan minta ijin untuk mengelola rumah tangganya. Secara signifikan wanita tetap dominan dalam membantu peer anak, mengatur aktivitas anak di rumah atau di luar rumah, membersihkan rumah, menyediakan makanan dan berbelanja. Tentunya kenyataan ini juga melatarbelakangi alasan mengapa wanita masih kurang mendapat kesempatan berkarir secara “all out” di pekerjaannya.
Bertahan di Pekerjaan dan Sukses
Ketika saya menanyakan apa alasan seorang teman wanita yang sukses di pekerjaannya, ia mengatakan bahwa ia selalu membayangkan apa yang terjadi pada usia 45 tahun bila ia tidak bertahan dalam pekerjaannya. Bayangan ini menyebabkannya bertahan dan berusaha bernegosiasi, berkompromi baik dengan manajemen perusahaannya maupun dengan keluarga. Ia bahkan mengatakan bahwa ia sangat sadar bahwa dunia ini memang berpihak pada kaum pria. Ia tetap mengakui bahwa hidup memang tidak “fair” dan sangat sadar bahwa menunggu uluran tangan untuk dibela atau ditolong adalah hal yang mustahil. “Kitalah yang perlu memelihara ambisi untuk survive dan sukses”, ujarnya. “Kita sendiri pun perlu membuktikan bahwa sebagai individu, lingkungan tidak bisa menganggap diri kita tidak komit, tidak mampu melakukan “problem solving” dan tidak tertarik pada kepemimpinan dan uang”.
Mengikis Stereotipe dan Memperjuangkan Potensi
Ketika teman saya dan pacarnya yang sekantor harus memilih salah satu dari mereka harus mengundurkan diri, karena akan menikah dan terkena peraturan dilarangnya suami istri sekantor, si pria berinisiatif untuk berwirausaha dan mengasuh anak, sementara si wanita bertahan bekerja di kantor. Pilihan ini ternyata merupakan cikal bakal suksesnya usaha suami dan menciptakan banyak kemudahan untuk pengasuhan anak, karena kebebasan waktu sang suami dan ketrampilan suami mengurus anak. Dari kejadian ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa keputusan untuk mengurus rumah tangga, tetap bertahan di pekerjaan sering kali didasarkan pada stereotip pembagian peran pria wanita, dan bukan pada potensi dan kebutuhan. Bila seorang wanita memang mempunyai prospek dan potensi untuk berkarir di kantor, dan suami memang sanggup mengelola rumah tangga, mengapa tidak suami yang tidak ngantor?
Perusahaan Bisa lebih ”Untung”
Para pimpinan perusahaan biasanya belum “walk the talk” dalam mengangkat potensi wanita. Tidak ada kebijakan khusus yang dibuat untuk menghindari wanita berhenti bekerja karena tuntutan perannya sebagai ibu. Kondisi seperti ini tentunya membuat ketimpangan antara pria dan wanita serta penghambatan potensi wanita berlanjut terus.
Sebenarnya perusahaan perlu lebih cermat menghitung seberapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk merekrut dan mengembangkan profesionalnya bila tidak berhasil mengoptimalkan talenta yang ada. Keponakan laki-laki saya yang bekerja di sebuah perusahaan asuransi besar di Negeri Belanda, mempunyai hak yang sama untuk bekerja 4 hari dalam seminggu dengan alasan mengurus anak. Dengan demikian, perusahaan, yang berprinsip ”membela kepentingan keluarga”,bisa mempunyai kesempatan menggali potensi karyawan wanitanya, yang kebetulan tidak memerlukan pengurangan waktu kerja. Banyak juga perusahaan yang memberlakukan penghitungan masa kerja yang lama, terhadap profesional wanita yang kembali bekerja setelah berhenti beberapa saat karena alasan keluarga. Dengan upaya-upaya yang cerdik ini perusahaan justru bisa mengambil keuntungan dari potensi yang lebih besar baik secara kuantitas maupun kualitas dari para wanita.
(Ditayangkan di KOMPAS, 26 April 2008)