Di situasi lain, kita banyak menyaksikan individu yang seolah terlena dengan deteriorisasi intelektualnya dan membiarkan dirinya terjebak pada ”kemanjaan” intelektual, misalnya, dalam diskusi-diskusi banyak individu yang tidak berusaha menyerap apa yang dikatakan orang lain, seolah-olah apa yang dibicarakan dan terjadi di luar dirinya adalah pengalaman yang tidak bermanfaat bagi kegiatan berpikirnya. Orang seperti ini tampil sebagai orang yang keras kepala, malas berpikir, dangkal dan tidak progresif. Bayangkan bagaimana jadinya kalau hal ini terjadi pada orang-orang yang produktif dan relatif masih muda? Dunia ini memang penuh masalah dan kesulitan, untuk itulah kita perlu melatih kegiatan pikir secara terus-menerus, bagaikan cara berlatih pelari maraton dalam menjaga kebugarannya.
Kebugaran Kognitif Tanggung Jawab Individu
Hal yang umum terjadi pada kita adalah bahwa kita tidak selamanya menyadari bahwa bukan saja fisik yang harus dijaga kebugarannya, tetapi daya pikir dan emosi pun perlu dipelihara dan ditumbuhkan. Tidak seperti banyak hal yang bisa kita serahkan pada asisten, pembantu rumah tangga atau pada bawahan, mengembangkan, menumbuhkan daya pikir dan mejaga kebugaran mental perlu kita upayakan sendiri, agar otak tidak kaku dan mampu menanggung beban yang berat.
Banyak situasi di mana individu tidak menyadari bahwa ia sedang tidak membugarkan daya pikirnya. Individu yang dalam pernyataannya banyak menggunakan kata ”selalu”, ”sering” dan mudah men-”cap” orang dengan kualitas tertentu, bisa dikatakan sedang menggunakan pendekatan”All or None”, alias ekstrim, mengeneralisasikan, menyimpulkan dan meramalkan terlalu cepat dan sering tidak menyadari bahwa ia menggunakan pendekatan yang salah. Tak jarang pula kita menemukan individu yang tidak berupaya mengungkapkan realita dengan tepat, seperti membesar-besarkan angka, tidak menghafal nama orang lain dengan tepat, sampai tidak memelihara upaya untuk bersikap obyektif.
Kita juga mudah menemukan paradigma dan ungkapan seperti: ”Saya sudah tua”, ”Otak sudah tidak kuat”, ”Telmi (baca: telat mikir)”, seolah-olah adalah pernyataan ”kalah” pada situasi dan keinginan mengatakan bahwa ”otak saya tidak bugar lagi”. Padahal, pikiran positif dan kepedean bahwa kita kuat sangat berpengaruh pada kebugaran pikiran kita, sementara para ahlipun berpendapat bahwa kebugaran mental mempengaruhi kebugaran fisik pula. Ahli sejarah berpendapat bahwa usia Winston Churchill sampai 90 tahun bukan berkorelasi dengan kebiasaan menghisap cerutunya , melainkan kegemarannya pada informasi.
Pentingnya Hubungan Interpersonal bagi Kebugaran Mental
Kebugaran mental sebenarnya berasal dari kapasitas dan kebebasan individu untuk mengelola masalah, emosi, situasi sehari-hari dengan daya pikir yang benar. Kemampuan menggunakan daya pikir yang benar ini akan berpengaruh pada kebahagiaan seseorang, sehingga individu akan merasa lebih nyaman, kuat, bebas dan berani menghadapi realita. Hanya dalam kondisi nyamanlah seseorang bisa fokus pada keinginan dan baru bisa memanfaatkan potensi kecerdasannya alias IQ-nya untuk pemecahan masalah.
Tidak seperti kebugaran fisik yang sering membutuhkan acara dan alat-alat khusus, latihan kebugaran mental, untungnya, bisa kita lakukan setiap saat, dimana saja dan dalam situasi apapun. Hal yang mungkin kita tidak sadari adalah bahwa interaksi dan hubungan interpersonal kita berfungsi memperkuat ’social support’ yang merupakan landasan untuk menjaga kebugaran pikiran. Sepintar dan sehebat apapun kita, bila tidak memiliki hubungan interpersonal yang baik, bisa-bisa kita ’end-up’ men jadi profesor ling-lung. Karenanya, kita bisa membugarkan pikiran kita dengan sengaja menumbuhkembangkan hubungan baik, misalnya melakukan silaturahmi, menolong, aktif berperan dalam organisasi, bercanda dan mengembangkan ”sense of humor”, sehingga kita bisa ”stay positive”, merasa ”kaya dan kuat” menahan beban dan menghadapi perubahan.
Lakukan Akrobat Mental dengan Sengaja!
Kegiatan mengeksplorasi dalam pikiran sering ditangkap salah oleh sebagian orang, seolah-olah mengeksplorasi memerlukan waktu khusus dan serius. Padahal, kita bisa melakukan eksplorasi dalam setiap kegiatan kita, asalkan kita dengan sengaja menangkap, menyerap, memotret situasi dan menjaganya untuk berada dalam perspektif yang obyektif.
Di samping sudoku, ”puzzle” dan teka-teki silang yang kita kenal sebagai media ”sport otak” yang baik, kita juga bisa menjaga ”ketajaman” otak dengan meningkatkan rasa ingin tahu dan memberi variasi rangsangan otak. Kegiatan seperti mematikan telepon, TV, komputer dan melakukan ”walk about” di sekeliling kita bisa memunculkan ide cemerlang. Kita pun bisa membuat eksperimen-eksperimen kecil sehingga mental kita mengalami stres yang kita sengaja. Perubahan beresiko yang dirancang dengan sengaja dan dimonitor dengan cermat, merupakan ”sport mental dan jantung” yang baik. Belajar hal baru, dilakukan kakak saya yang 3 tahun lalu genap berusia 65 tahun, dengan memulai tertatih-tatih belajar bahasa Spanyol dari nol. Sekarang ia sudah menikmati liburannya di Spanyol, terutama karena bisa mengobrol dengan penduduk di kampung-kampung dan menemukan hal-hal mengejutkan yang tidak ada di buku-buku.
Kita lihat, kebugaran kognitif ternyata bisa mempengaruhi setiap aspek kepribadian kita baik emosi maupun fisik. Bisa kita bayangkan, bila manusia Indonesia yang mendekati 240 juta jiwa ini mengembangkan kebugaran kognitif. Bukankah kita bisa menghindari kelesuan, kemalasan, dan kebodohan tanpa ongkos yang besar?
(Ditayangkan di KOMPAS, 5 April 2008)