Isu mengenai kepemimpinan selalu menarik. Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang pimpinan perusahaan yang oleh teman-temannya disebut sebagai ”orang besar”. Beliau sangat berhasil, banyak teman, aktif dan ’terpandang’ di kalangan organisasi profesinya dan sangat pandai menggolkan proyek jutaan US dolar. Ketika beliau berkesempatan untuk meninjau kembali gaya kepemimpinannya dan membandingkan kekuatan dan kelemahan dengan koleganya, sesama pimpinan perusahaan tersebut, ada yang berkomentar, ”Bapak tuh rabun dekat, sementara teman Bapak rabun jauh”. Maksudnya, beliau sangat visioner, berpikiran jangka panjang, sementara koleganya lebih memperhatikan detil yang ada di depan mata. Lah, kalau para pemimpin di perusahaan itu ’rabun’ semua, kok perusahaan bisa sehebat itu?
Harapan terhadap seorang pemimpin ideal memang banyak sekali. Saking banyaknya sehingga bahkan bisa berbentuk mitos, karena hampir tak pernah kita lihat terealisasi. Ada pemimpin yang pada tahap awal kepemimpinannya memunculkan konsep-konsep baru dan cemerlang, tetapi selanjutnya tidak mampu mengontrol situasi. Ada pemimpin yang kita tahu sebagai “slow starter”, sehingga setelah lama menjabat terasa tetap tidak melakukan “perbedaan” atau perbaikan keadaan. Tampaknya memang jarang terealisasi ada pemimpin yang mendekati kriteria ”sempurna”; ”No one person could possibly stay on top of everything”.
Pemimpin juga Manusia
Kita tampaknya memang sudah perlu berganti ”mindset” dan realistis melihat bahwa kepemimpinan memang sulit. Adanya pemimpin akan memudahkan situasi, karena si pemimpin sekedar sedikit lebih pintar, bijak, dan ber-”power” untuk menemukan dan menggerakkan ”expertise” anak buah, menggambar dan menjual visi yang realistis, menggalang tim untuk menghasilkan ide dan solusi baru, serta menggerakkan teman – temannya agar menjalankan upaya menuju sasaran bersama dengan penuh komitmen.
Mau tidak mau, seorang pemimpin tidak bisa ”menggarap” semua hal dengan kongkrit. Di lain pihak, paling tidak ia bisa memberdayakan kekuatan, memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya yang ada di areanya. Pemimpin adalah manusia biasa yang tidak sempurna, tetapi dengan ”terpilihnya” ia sebagai pemimpin, ia perlu menjadi manusia yang paling tidak bisa mendobel kekuatan timnya berdasarkan semua kekuatan dan sumberdaya yang ada. Dalam keterbatasannya ia tetap perlu menjadi “the flawless person at the top who’s got it all figured out”.
Mengakali Kekurangan dengan Menajamkan ’Sensemaking’
Teman saya adalah seorang pebisnis sekaligus CEO yang ”penuh kekurangan”. Ia, menurut anak buahnya, ”hanya” mengurusi hal yang tidak penting seperti kebersihan toilet dan ”clean desk policy”. Namun kenyataannya, ia tidak tergantikan. Visi bisnisnya yang tidak mampu ia deskripsikan sendiri dengan kata-kata, sudah membuat perusahaan berkembang terus selama 30 tahun, tidak pernah usang bahkan berkembang secara drastis.
Teman saya ini sering mengatakan bahwa dirinya punya ”Indera ke enam”. Ungkapan yang dinyatakan secara bergurau itu sebenarnya, kalau dipikir-pikir sangat benar. Tepatnya, ia selalu bisa melihat apa yang orang lain tidak lihat. Ia adalah seorang yang ”super observant” dan punya ”radar” yang tajam dalam melihat peluang dan produk baru, serta melihat kesalahan operasional sehari-hari. Ketajaman ”sensing” ini disertai ”sensemaking” yang sangat kuat. Dengan cara inilah ia mencari kebenaran dan pemahaman tentang duduk perkara situasi sehari-hari secara simpel namun tajam, memahami konteks sekaligus inti permasalahan dengan tepat.
Teman kita ini memang tidak pernah kehilangan “kerendahan hati” untuk memahami situasi sekitar dengan kerajinannya mengajukan pertanyaan, walaupun ia sangat sibuk. Tetapi, bukankah kita sama - sama bisa membayangkan, betapa sulitnya pemimpin yang tidak mempunyai ”sense” tentang organisasinya, karena tidak berusaha mencari tahu, bahkan hanya menerima laporan, dalam mengambil keputusan atau membuat kebijakan? Bukankah pemahaman ini yang diperlukan seorang pemimpin untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, perubahan budaya, lingkungan, kebijakan, politik dan globalisasi yang sekarang sulit ditebak?
Pentingnya Pemimpin Menjadi ’Konektor’
Konon, seluruh manajemen pemerintahan di Indonesia pun sekarang sudah berkomunikasi dengan ”blackberry”, benda kecil yang menjamin ”real time communication” berbentuk apa saja, gambar, data, berita atau video sekalipun. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa gejala komunikasi satu arah, tidak adanya keseimbangan antara ”memberi pengarahan” dan ”mendengar secara seksama”, masih mewarnai gaya kepemimpinan di sekitar kita. Bahkan, banyak kita dengar bahwa anggota tim sering seolah-olah rukun satu sama lain, tetapi tidak ”berbicara’ dalam proporsi sesuai yang dibutuhkan. Padahal kita sama-sama sadar bahwa gaya kepemimpinan yang tidak mengutamakan penggalangan spirit, optimisme, dan konsensus sudah tidak mempan di dunia yang sudah semakin kompleks dan membutuhkan keputusan yang tajam dan cepat ini.
Lee Iacocca, misalnya, menyatakan bahwa ketika mulai membenahi Chrysler, perusahaan tersebut bagai sekumpulan kerajaan kecil yang tidak berhubungan satu sama lain. Dan prioritas utamanya kemudian adalah mempersatukan tim. Seorang pemimpin justru butuh menyadari kesenjangan dan dengan cepat menghubungkan antara satu departemen dengan departemen lain, antara masa lalu, sekarang dan masa depan, serta antara ”concern” internal organisasi dengan pihak eksternal untuk memecahkan masalah , dan bahkan ”menemukan” solusi yang unik . Ia pun perlu berani pasang badan untuk menjadi konektor diantara koleganya, bukan saja dalam masalah rasional tetapi juga emosional. Kreativitaslah yang menyebabkan seorang pemimpin yang penuh kekurangan bisa ”survive”, baik dalam memecahkan masalah dan juga pada cara berhubungan dan menghubungkan orang di sekitarnya.
Kepekaan, kemampuan menjadi konektor, ”passion” dan kreativitas tidak membutuhkan pendidikan khusus, setiap pemimpin dapat berlatih dan meningkatkan kompetensi-kompetensi dasar ini asalkan ada keteguhan hati.
(Ditayangkan di KOMPAS, 9 Februari 2008)