Pembicaraan terjadi antara saya dan arsitek kondang Tan Tjiang Ay, mengenai apa yang akan kita tinggalkan, kalau kita “tutup buku”. Ketika saya mengatakan bahwa sebagai arsitek, posisinya lebih mudah, karena yang akan ‘ditinggalkan’ nanti adalah hasil karya yang nyata dan teraga, beliau pun membantah. Beliau lalu mengatakan bahwa yang ditinggalkan seorang arsitek bukan benda mati seperti bangunannya, tetapi “legacy”-nya, yaitu dampak dan kualitas positif yang bisa meng-inspire, menjadi poros penyemangat bahkan landasan action dan pola pikir bagi penerusnya. Pembicaraan jadi semakin seru dan berusaha menjawab: “Apakah seseorang yang masih hidup perlu memikirkan apa yang akan dia tinggalkan pada kematiannya, selain harta?” Orang yang cuek dan tidak setuju, bisa saja malah memikirkan,”Apakah saya memang perlu merancang apa yang akan saya nikmati ketika saya sudah di alam lain? Mati ya mati…”
Kita lihat bahwa banyak tokoh dan ahli, yang hingga bertahun-tahun wafatnya masih disebut-sebut jasa, pemikiran, teori, dan falsafahnya. Saya teringat dalam pemakaman seorang tokoh pendidikan, penerusnya secara sederhana mengatakan,”Beliau sudah meninggalkan spirit ‘kesejukan’ dalam organisasi kita, yang sebelum beliau menjabat, sering bertengkar dan berselisih faham. Kultur inilah yang sampai sekarang kita jaga dalam rapat-rapat dan cara berorganisasi.” Saya jadi teringat sebuah quote,‘If you lead a meaningful life, you never really die’. Mungkin ini yang dimaksud dengan “legacy”. Tetapi, apakah “legacy’ hanya perlu dipikirkan oleh pemimpin besar, negara atau CEO perusahaan-perusahaan beromzet trilyunan?
Secara pribadi, konsep ‘legacy’ ini jadi berpengaruh dalam lamunan-lamunan saya. Yang jelas, memang banyak orang yang punya keinginan untuk mewariskan spirit, enerji, visi, nilai dan berharap bahwa ide-idenya, di kemudian hari tidak dianggap basi atau bahkan “salah” oleh para penerusnya. Bukankah banyak ‘kecanggihan’ yang ditinggalkan oleh para tokoh dan ahli yang sampai sekarang pun bisa kita implementasikan, kita jalankan, bahkan masih kita kagumi, sehingga dunia, sepeninggalnya, malah jadi lebih baik?
‘The Legacy you leave is the Legacy You Live’
Siapa sih yang tidak ingin ”nama” atau ”nama perusahaan”-nya me’legenda’ secara harum dan positif? Kenyataannya banyak di antara kita terutama para pemimpin atau manajer, karena kesibukan dan fokus pada masa sekarang, tidak menyadari bahwa segala tindak-tanduk, strategi dan kebijakan akan meninggalkan bekas. Bekas bisa positif tetapi bisa juga membentuk dendam, kekalahan, kerugian, kekeroposan bahkan keterpurukan. Berarti, di setiap tugas, kebijakan dan strategi kita, ada ”Pe-eR” tambahan, yaitu mempertanyakan apakah apa yang kita buat dan gariskan sekarang akan ”shape the future” atau malah sebaliknya merugikan. Dengan pola pikir demikian, maka penerus atau pengganti kita tidak perlu selalu mengganti ”policy” atau bahkan merombaknya ketika baru menjabat, karena justru bisa menggunakan bahkan ingin mengambil manfaat dan meneruskan apa yang pernah kita bangun dan cita-citakan. Pemikiran ini juga bisa membuat orang tidak ”aji mumpung’ ketika menjabat, karena ia perlu berpikir panjang, tentang apa yang akan terjadi bila ”Saya sudah tidak di sini lagi”.
Legacy : Dampak dan Kualitas Positif yang tertinggal
Kita tahu bahwa kita bisa menjadi lebih baik dengan belajar dari kesalahan masa lalu. Orang yang melihat ayahnya sering memukuli ibunya, bisa berjanji pada dirinya untuk seumur hidup menghindari kekerasan. Kesalahan strategi yang menyebabkan perusahaan merugi dan berhutang banyak, bisa jadi momentum perbaikan bagi penerusnya agar lebih hati-hati dalam mengantisipasi dengan menghindari kesalahan atau dosa-dosa lampau. Bahkan, banyak tokoh yang melakukan kesalahan, mencetak kerugian tapi masih bisa dikenang nilai-nilai dan faham positifnya. Meskipun kesalahan, kekhilafan dan kegagalan bisa menjadi pemicu kehidupan yang lebih baik, namun itu bukanlah legacy.
Legacy adalah kualitas positif, spirit, penyemangat, nilai dan dampak positif yang menjadi landasan kehidupan seterusnya yang lebih baik. Dampak yang terlihat misalnya semakin pintarnya sekelompok manusia karena spirit belajar dalam kelompok yang dibangun seorang tokoh seperti Ki Hajar Dewantoro, semakin ’hijau’ dan produktif-nya lingkungan sehingga para penerus bisa melanjutkan kualitas kehidupan yang lebih baik, atau semakin kuatnya ”self esteem” sekelompok orang sehingga mau dan giat mengembangkan profesinya walaupun profesi tersebut ”tidak ada duitnya”.
Merancang legacy adalah Pilihan
Mewariskan kekayaan ’sampai tujuh turunan’ tidak termasuk membuat legacy. Berarti terkadang membuat legacy lebih sulit daripada sekedar mengumpulkan kekayaan supaya bisa menjadi warisan. Cara kita hidup, berkata-kata dan mengambil esensi dari kualitas kehidupan, kemudian men-”transfer”-nya kedalam kebijakan, peraturan dan sistemlah yang perlu kita tata. Legacy yang kita turunkan juga akan menggambarkan visi dan obsesi kita selama hidup. Semakin jelas visi dan kuat obsesi kita, semakin besar dampak nya. Kalau kita berobsesi kuat agar lingkungan kerja bersih berintegritas, maka tindakan, kata-kata kitapun akan ber”gaung” jauh ke depan. Kalau kita ingin memajukan kaum nelayan, dan mati matian membuat kegiatan, mendidik , mendera , menciptakan lapangan kerja , mengakomodasi , maka sepeninggal kita para nelayan pasti masih menikmati spirit kita dan meneruskannya dengan kekerasan hati pula.
Berpikir tentang legacy sebenarnya bisa merupakan katalis dalam pengambilan keputusan, karena lebih berorientasi jangka panjang. Memikirkan ”legacy’ pun tidak perlu terkait dengan matinya seseorang. Setiap pemegang jabatan sesungguhnya bisa membiasakan diri berpikir untuk ”mewariskan” sistem, value, SOP, yang mantap, positif dan memberi nilai tambah di areanya, sehingga ketika dia ’pergi’, semua yang ditinggalkan berbekas keharuman namanya. ”Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang”, janganlah kita pergi dengan meninggalkan ”borok”.
(Ditayangkan di KOMPAS, 2 Februari 2008)