was successfully added to your cart.

Ketika ditanya apa arti ‘work life balance’, seorang direktur perusahaan terkenal, menjawab, “Work life balance, bagi saya, adalah bila target penjualan tercapai 100%”. Jawabannya membuat saya tertegun. Lahhh kok, pekerjaan lagi, pekerjaan lagi? ”Apa pak direktur tidak memikirkan rekreasi? Atau kehidupan keluarga? Beliau lalu dengan santai memberi jawaban yang masuk akal,”Bila saya tidak mencapai kinerja yang baik, atau paling tidak mencapai target pekerjaan, maka mustahil saya bisa benar-benar bersantai dengan keluarga dan menikmati sisa hari saya


 


Ya, kita dapat merasakan betul bahwa tidak sukses di kantor akan berdampak negatif di rumah tangga atau kehidupan sosial, membuat orang tidak bertenaga, dan demikian pula sebaliknya. Seorang ibu yang gembira karena proposal pemecahan masalah yang ditawarkannya disetujui oleh atasan, akan pulang dengan rasa lega. Meskipun rapat yang dihadapinya tadi menguras tenaga, namun ia merasa punya enerji lebih untuk membimbing putra tercintanya yang sedang minta perhatian lebih karena besok akan ulangan. Sebaliknya, kita sendiri tahu betapa ‘bete’nya suasana hati karena urusan rumah bisa membuat kita tidak bertenaga di kantor, sampai-sampai teman kita bisa berkomentar, “Makanya, urusan rumah jangan dibawa-bawa ke kantor…” Nyata betul bahwa energi lebih memang berasal dari keseimbangan.


 


Keseimbangan Tidak Selalu Berbentuk Timbangan


Klien saya, seorang manajer senior di bank terkemuka, pernah mengeluhkan kesibukan pekerjaannya yang menyebabkan dirinya tidak punya waktu cuti sama sekali. Ia mengatakan bahwa jatah cutinya semenjak 2 tahun yang lalu masih utuh. Ketika saya berkomentar mengenai ‘berlibur di pekerjaan dan bekerja saat liburan’, beliau berkata, “Ya, itulah yang saya lakukan. Bersantai di kamar hotel dan sekedar menonton televisi sendirian selama berjam-jam, sehingga terasa sudah ‘mengosongkan pikiran’. Nah, bukankah kegiatan ini juga sudah termasuk “balancing”?


 


Bila kita bicara mengenai “worklife balance”, kita perlu mempertimbangkan berbagai aspek, di samping keluarga dan kantor saja. Ada ahli yang menggunakan istilah yang mudah diingat, yaitu S-P-I-C-E-S, untuk menggambarkan aspek-aspek worklife balance tersebut:


þ     “Social”: kehidupan keluarga, hubungan dengan orang lain, lingkungan, alam dan masyarakat ,


þ     “Physical”: kebugaran , gizi, kesehatan, dan santai  


þ     ”Intelectual”: penguasaan stres dan tekanan,pengembangan diri & profesional, proses belajar ,


þ     “Career”: suskes bekerja, berkarir dan kesejahteraan finansial,


þ     Emotional “: “sense of humour”, kreativitas, bermain, dan “self esteem”,


þ     Spiritual”, k- Tuhan-an, intuisi, arti dan tujuan  hidup.


 


Berfokus pada kesemua aspek ini, di saat tertentu,  sudah membentuk cakar ayam kehidupan dengan sendirinya, dan walaupun kita tidak sempurna di satu aspek, masih ada kekuatan di aspek lain.


 


Fokus Tidak Sama dengan “Ngotot”


Sering sekali, bila individu diminta untuk fokus, ia akan mengarahkan perhatiannya kuat-kuat pada hal tertentu, sampai kening berkerut, dan bahkan menjadi tegang. Padahal, untuk bisa fokus dan berkonsentrasi, dibutuhkan sikap relaks. Kita bahkan bisa mengatakan bahwa upaya fokus sebenarnya “effortless”. Kelelahan akibat tidak mampu fokus dan tidak relaks-lah yang bisa menyebabkan individu merasa “tidak seimbang”. 


 


Bayangkan Anda dilayani oleh pekerja restoran, yang mondar mandir mendatangi tamu, mencatat dan mengantar makanan untuk pelanggan, serta berusaha membuat pelanggan happy dengan gerakan dan “tarian” servisnya dengan relaks dan fokus. Bandingkan dengan pelayan restoran yang senyumnya terlihat terpaksa, menyapa serta mengucapkan salam secara datar. Dengan sikap relaks, fokus akan lebih optimal dan isu bisa terlihat lebih jernih, keputusan lebih gampang dibuat, tanpa ketegangan.


 


Setelah berfokus pada tugas yang berat, kita akan merasa lega sesampai di rumah dan lebih mudah mengendurkan syaraf dan otot, untuk berfokus pada hal lain lagi. Sesekali memang kita berhadapan dengan situasi di mana kita harus  kerja lebih banyak, pulang lebih malam, tidak makan siang, terutama pada awal atau akhir projek penting, namun lagi-lagi, bila kita fokus, kita bisa mengkontrol diri dan lingkungan lebih baik.


 


Fokus Harus Tunggal dan di-“Enjoy


Hampir semua orang menganggap keluarga sebagai pelabuhan hatinya, merasa sejuk di tengah keluarga, sehingga mengupayakan ’balance’ dengan membagi waktu secara adil antara pekerjaan dan keluarga. Hal yang sering dilupakan orang adalah bahwa pekerjaan, kesuksesan, tantangan bisa membuat orang bahagia, sama dengan kebahagiaan “pulang ke rumah”, bercengkerama dengan keluarga.


Kita bisa membangkitkan produksi adrenalin melalui tantangan projek, proses-proses bisnis, seperti rapat, menjual, lobby dan negosiasi. Kita pun perlu yakin bahwa bila kita fokus pada SATU hal dengan tanggung jawab penuh, maka kita bisa mengerjakannya dengan lebih sempurna dan benar, serta mempunyai enerji lebih, misalnya untuk “staying calm” daripada panik atau marah. Fokus pada pembuatan  laporan yang jelas, singkat, padat lebih baik daripada bergegas untuk menyelesaikannya. “Worklife balance “ hanya bisa kita dapatkan bila kita aktif memperkuat diri, dan bukan terobsesi untuk mengkontrol dunia di luar kita.


Ditayangkan di KOMPAS, 19 Mei 2007

For further information, please contact marketing@experd.com