“Take this job and love it ……”
Klien saya, sebuah perusahaan yang sangat sangat sukses. Dalam rangka pembuatan sistem penilaian karyanya, mereka menolak ketika kami anjurkan untuk mengukur kepuasan kerja karyawan. “Mereka sih nggak ada puasnya….” Begitu ungkap salah seorang direktur, “Nanti malah seperti membangunkan macan tidur. Seperti tidak tahu saja, tuntutan karyawan ‘
Apakah benar begitu? Apakah penghayatan kepuasan ini begitu relatif, bahkan demikian ’licin’ dan sulit dipegang? Seorang direktur, di perusahaan lain, menganjurkan koleganya yang membawahi HRD untuk memberi imbalan (baca: uang) yang lebih lagi untuk karyawan, yang mulai kelihatan tidak bersemangat. Ini bisa jadi jalan pintas yang kerap dianggap solusi paling jitu. “Bukankah yang dicari oleh kita semua berbuntut UUD (ujung ujungnya duit)?”
Dalam sebuah pertemuan dengan sekelompok salesman yang memendam banyak ketidakpuasan, salah seorang salesman berkata, ”Sebenarnya yang kita minta tidak muluk-muluk. Kita happy bekerja dan mengejar klien. Yang kami inginkan adalah kejelasan peraturan dan perlakuan yang nice dari garis belakang perusahaan”.
Bila kita amati baik-baik, situasi ini sangat berbeda dengan apa yang dibayangkan sang direktur, yang menduga bahwa manusia pekerja memang tidak ada puasnya. Kenyataannya, ’salesman’ sekalipun, yang biasanya terkenal perlu diberi pancingan imbalan, bisa merasa bahwa ada pekerjaan yang membuatnya bergairah dan ada faktor lain yang membuatnya tidak happy.
Banyak orang bertanya kepada saya secara pribadi, tentang bagaimana saya menjaga stamina kerja dan enerji. Jawabannya hanya satu: ”Enjoy” pekerjaan Anda. Dengan menikmati pekerjaan, waktu serasa berlalu begitu cepat, masalah akan terlihat sebagai kesempatan dan tantangan, energi yang digunakan terasa hemat, dan yang paling penting, kita happy. Bila kita menyukai pekerjaan, menghadiri rapat evaluasi yang berkepanjangan, mengikuti seminar selama seminggu, berdiri mengajar selama 8 jam pun tetap tidak menurunkan gairah dan semangat berprestasi.
Bicara soal kepuasan, nyatanya hal yang intangible seperti emosi, moral, motivasi dan ’rasa’ karyawan memang lebih ’powerful’ ketimbang gaji sekalipun. Ada saja karyawan yang bisa tahan bekerja dengan gaji secukupnya asal ia menikmati tugasnya dan merasakan adrenalinnya mengalir untuk mencapai sasaran kerjanya. Apalagi bila hasil kerjanya tersebut diakui dan mendapatkan penghargaan yang layak dari perusahaan. Motivasilah yang bisa membuat karyawan berkomitmen, kreatif, hingga produktif di pekerjaan. Kita pun akan terpana dengan betapa “intangible assets” bisa membuat sebuah perusahaan sukses.
Bagaimana bila situasi terbalik? Saya pernah menghadapi sebuah perusahaan yang berisi profesional trampil, jago dalam bidangnya, pekerja keras, dan disiplin. Bila anda tanyakan kepada mereka pertanyaan standar: “Apakah anda PUAS?” Kebanyakan diantara mereka akan mencibir dan mengatakan:”Yaaah…, mau dibilang puas bisa, mau dikatakan tidak puas juga bisa. Singkatnya, saya tidak ’tidak puas’ ”. Situasi seperti ini sering ada di dalam perusahaan yang mementingkan imbalan, fasilitas, aturan main, struktur organisasi, kepangkatan karyawan, tanpa berfokus pada ’makna kerja’ dan pengembangan pribadi karyawan.
Faktor-faktor seperti gaji, aturan dan fasilitas diatas, disebut oleh Herzberg, seorang ahli kepuasan kerja, disebut sebagai ’faktor higienis’. Faktor-faktor ini, yaitu gaji, pangkat tinggi, jabatan yang ’wah’, kantor yang mentereng, memang bisa membuat orang bertambah puas. Namun, tanpa adanya fokus pada mutu pekerjaan, mustahil bagi individu untuk menjadi ’puas sekali’. Perusahaan seperti ini, tanpa disadari sudah meningkatkan biaya SDM-nya, tanpa memperoleh hasil produktivitas yang memadai. Padahal, motivatorlah yang perlu digarap agar menjadi landasan kepuasan kerja, karena hanya isu-isu seperti ’achievement’, pengakuan, tantangan, tanggung jawab dan kemajuan yang bisa dianggap sebagai pemicu kinerja.
Jadi, kabar gembiranya adalah bahwa kepuasan kerja sangat jelas dan terukur, asal urut-urutannya benar. Masing masing individu sebenarnya bisa bertanya kepada diri sendiri dulu mengenai situasi kerja mana yang membuat dirinya merasa ’asik’ dan bergairah. Dan, situasi kerja mana yang membuat dirinya lelah dan tidak bersemangat? Baru setelah paham benar faktor apa yang membangkitkan gairah kerjanya, ia bisa melirik faktor imbalan, menilai apakah penempatan jabatannya tepat atau tidak, kemudian menelaah soal faktor higienis apa yang bisa membuat dirinya sangat-sangat puas. Dengan kesadaran dan pendekatan seperti ini, perusahaan pun tidak akan terlampau sulit menegosiasikan imbalan atau fasilitas lainnya, karena imbalan ini toh diberikan kepada individu yang produktif dan bermotivasi.
Eileen Rachman & Sylvina Savitri
EXPERD
Employee Satisfaction Survey.
(Ditayangkan di KOMPAS, 13 Januari 2007)