Istilah ‘glokal’, yaitu menguasai cara pikir dan perilaku lokal untuk memenangkan kompetisi global, makin populer di kalangan bisnis. Sebetulnya, sejarah kita telah mencatat lama hal ini. Pada abad lalu, Snouk Hoergronje, sebagai seorang Belanda, secara tekun mempelajari adat istiadat orang Aceh, bahkan sampai memeluk agama Islam, untuk bisa menaklukkan dan berkuasa di Aceh. Saat sekarang, bagi para eksekutif negara barat, rasanya tidak lengkap bila mereka tidak menguasai kultur dan bahasa bangsa di Asia, seperti Cina, Jepang, Korea, juga Indonesia. Orang-orang cerdas ini tampak sangat paham di mana ‘hotspot’ bisnis dunia dan berusaha mendudukinya.
Bagi kita, bangsa yang dipelajari, kita bisa saja merasa bangga bahwa bangsa lain yang sudah maju, meminati bahasa dan kultur kita. Di lain pihak, kita perlu berpikir cepat, apakah kita sendiri tetap akan adem ayem sementara bangsa lain sudah mengerti, memahami dan bahkan sudah menguasai cara pikir dan tindakan kita? Apakah sebagai negara yang paling kaya sumber daya alam, maupun sumber daya manusia ini kita sudah berada dalam posisi kontrol yang baik? Apakah nanti kita perlu membeli mahal hasil sumber daya alam kita sendiri karena nilai tambah dari pengolahan dan pemasarannya dikuasai bangsa lain?
Sudahkah kita sebagai manusia andalan negara tercinta berperan dalam menciptakan nilai tambah, agar negara kita berkembang dan mampu berkompetisi dengan negara lain? Sebagai tenaga kerja Indonesia, kami bangga EXPERD bisa menjual servis pada bangsa sendiri tanpa perlu membeli produk asing. Indonesia sebagai ‘pasar’ yang manusianya mendekati 300 juta orang memberi peluang berkembang yang tidak sedikit. Persaingan dengan perusahaan yang mengincar pasar di negara kita bisa dihadapi kalau saja kita punya kesiapan, mindset, sikap dan perilaku yang mengglobal.
Tahun 90-an, saya mengunjungi Pusat Operasi Pupuk Kaltim di Bontang. Saya bersama rekan menginap di guest house yang representatif tapi tidak berlebihan. Semua yang kita perlukan tersedia, seperti halnya menginap di hotel standar bintang 4. Waiter-nya sopan, selalu memperhatikan apa kebutuhan kami sebagai tamu. Pelayanan di meja makan berkualitas hotel internasional walaupun yang disajikan adalah makanan Indonesia seperti layaknya dapur rumah kita. Seketika, saya berkomentar, “ini namanya ’think global, act local’!”. Jago kandang tetapi meng-global. Untuk masuk dan menjual servis ke bangsa sendiri kita perlu mendalami apa kebutuhan khas bangsa kita dan mengajak bangsa kita untuk maju dan bekerja dengan standar internasional.
Kenali Nilai Tambah Lokal untuk Transaksi Global
Tidak perlu menjadi kebarat-baratan untuk meng-glokal. Tidak perlu selalu berorientasi ke luar negeri sampai bersikap seperti ’kacang lupa pada kulitnya’. Saat berbicara mengenai travelling, banyak orang terlintas Singapur. Pernahkah kita melihat betapa turis asing mendalami dan mempelajari budaya Toraja, sementara kita cuek, tidak berminat? Sikap inilah yang merupakan awal kekalahan kita dari bangsa asing. Dan sikap inilah yang perlu segera ditumbuhkan pada generasi muda kita.
Kita mesti jadi jagoan di ‘rumah sendiri’, tahu detil negara sendiri, update dengan hasil penelitian tentang sumber daya negara sendiri dan kenal bagaimana cara mengembangkan nilai tambahnya. Cara kita membuat nilai tambah inilah yang membutuhkan kesejajaran dengan dunia luar. Trampil, fasih dan lancar mengakses dunia luar, bekerja dengan perbedaan waktu, bernegosiasi, bertransaksi dengan perspektif dan pola pikir mitra bisnis sudah harus ada di dalam sikap sehari-hari.
Sikap Terbuka dalam Kompetisi Terbuka
Sudah berapa lama negara kita melakukan proteksi terhadap sumber daya alam maupun manusianya? Sadari bahwa praktik monopoli sudah usang, sekarang kita berada dalam era kolaborasi yang berlandaskan ”keterbukaan”. Percepatan bisnis tidak akan didapat melalui ketertutupan. Justru keterbukaan perlu dijadikan daya jual bangsa kita agar menarik untuk dijadikan mitra dalam berbisnis.
Sebagai pekerja Indonesia kita mesti ubah target. Kita perlu menguasai dan menghafal mati ipoleksosbudhankam kita sendiri , dan menjadikannya sebagai ”kekuatan”. Bersamaan dengan itu, kepemimpinan kita ditantang untuk memimpin dan mempengaruhi bangsa lain melalui kekuatan berkomunikasi, mendengar, meriset dan mengemukakan pendapat. Kita selalu perlu merasa bahwa kita adalah bagian penting dari perkembangan bisnis dunia, jago integrasi dengan otonomi lokal, karena kita memang paling piawai soal ke-’lokal’-an.
Berpikir dan Bertindak sebagai ’Pemain Global’
Kita perlu senantiasa berpikir bahwa kita adalah ’pemain global’, melihat dunia sebagai dusun global, tidak berbatas. Kita pun harus punya cara berespon, belajar, bepergian yang berbeda. Lebih gesit, lebih toleran, lebih mau beradaptasi di mana-mana. Bisa hidup dengan suku dan bangsa lain dan pandai mengaplikasikan aneka metoda baru. Hanya dengan pemikiran dan pengetahuan tingkat global kita bisa meng-customized kebutuhan lokal.
(Ditayangkan di KOMPAS, 4 November 2006)