Rahasia terjalinnya hubungan yang kuat dengan pelanggan ada pada keterbukaan dan komunikasi yang sejelas-jelasnya, baik untuk hal-hal yang baik maupun yang buruk. Dengan demikian pelanggan tahu bahwa kita tidak hanya senang menerima pujian tetapi juga peduli pada keluhan mereka. Pelanggan yang mau meluangkan waktu mereka untuk berbagi informasi dan kepedulian semacam ini adalah asset emas bagi perusahaan.
Terkadang alasan kita merasa enggan menerima keluhan pelanggan adalah karena takut jika nantinya tidak bisa menindaklanjuti masalah mereka dengan tepat. Pada akhirnya kita lebih senang mendengar berita bagus atau tidak mendengar sama sekali, padahal kita tahu hal ini sama saja dengan membohongi diri sendiri. Tampaknya persepsi kita mesti diubah, sehingga kita akan mulai berpikir bahwa akan lebih baik jika kita di’complaint’ dan tidak bertindak (karena satu dan lain hal), daripada tidak di’complaint’ sama sekali.
Tidak adanya keluhan yang disampaikan bisa menjadi pertanda menurunnya kualitas hubungan dengan pelanggan, karena dimana pun tidak pernah ada orang yang betul-betul merasa puas, apalagi untuk periode waktu yang panjang. Dari studi yang pernah dilakukan oleh sebuah organisasi penelitian mengenai service, rata-rata perusahaan menerima keluhan hanya 4 % dari total pelanggan yang tidak puas. Kemana sisanya? Mengapa pelanggan lain memilih untuk ‘diam’ atau langsung pindah ke kompetitor daripada memperjuangkan hak atau minimal menyatakan ketidakpuasannya? Alasan yang sering dikemukakan pelanggan adalah a) mereka tidak berpikir bahwa kita peduli, (b) mereka merasa tidak ada manfaatnya, walaupun kita peduli toh tidak akan membawa perubahan lebih baik bagi mereka, dan (c) mereka memang tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya.
Sayangnya, dampak dari sikap ‘diam’ ini bisa menjadi lebih buruk, karena pada akhirnya ketidakpuasan ini disebarkan kepada pengguna jasa/produk yang lain. Perlu diketahui bahwa perbandingan jumlah orang yang menerima informasi dari pelanggan yang tidak puas jauh lebih besar daripada mereka yang menerima kabar dari pelanggan yang puas. Jadi pesan dari ‘mulut ke mulut’ adalah satu bentuk promosi yang sangat powerful, sehingga baik buruknya pengalaman seorang pelanggan tidak bisa dianggap sepele.
Dari hasil studi di atas dinyatakan pula bahwa pelanggan yang sama sekali tidak pernah mengeluhkan ketidakpuasannya, hanya 37% yang akan kembali berbisnis dengan kita. Sedangkan peluang untuk kembali berbisnis dengan pelanggan yang menyatakan keluhan sementara kita hanya mendengarkan tanpa menindaklanjuti, adalah sebesar 70%. Jika masalah yang dikeluhkan bisa diselesaikan dengan baik, maka peluang untuk berbisnis kembali naik menjadi 95%. Jadi jelas bahwa pelanggan yang menyatakan keluhan dan ditangani dengan baik, cenderung lebih loyal daripada pelanggan yang tidak pernah mengeluh sama sekali.
Sekarang, bagaimana menyikapi keluhan yang datang dari pelanggan agar bisa terasa lebih mudah? Simak beberapa tips berikut :
(a). Apabila ada kesempatan menerima keluhan secara langsung, dengarkanlah baik-baik. Jangan menjadi defensif karena pelanggan saat itu sedang tidak berminat mendengarkan alasan kita. Yang mereka butuhkan adalah : mereka ingin didengarkan dan dihargai atas pendapat dan masukan mereka
(b). Anggap saja keluhan tersebut sebagai peluang untuk memperbaiki proses belajar agar kita bisa memecahkan masalah dengan lebih baik.
(c). Cobalah bersikap lebih asertif dalam menggali feedback dari pelanggan, misalnya dengan contoh pernyataan berikut : “ Kami sangat ingin melakukan apa saja yang kami bisa untuk memperbaiki pelayanan kami kepada anda, dan feedback dari anda akan sangat membantu”. Rasanya tidak sulit bukan?
(d). Jangan memihak, jika kita merasa berada di tengah-tengah antara pelanggan dan karyawan internal perusahaan. Tentukan pendekatan terbaik untuk menggali fakta dan putuskan tindakan berdasarkan apa yang ditampilkan (performance), bukan atas dasar orang-orang yang terlibat.
(Artikel Kompas Minggu, 18 November)