was successfully added to your cart.

IMAGE MANAGEMENT: Perlu “ja-im”-kah saya?

Saya orang yang percaya bahwa kita perlu upaya sengaja untuk membentuk image diri kita di mata orang lain, agar sukses lebih mudah diraih. Karenanya, saya lumayan berpikir keras, saat menghadiri kongres assessment center baru-baru ini, di mana wacana mengenai situasi ’faking good’, yaitu sikap ’ja-im’ (jaga image) calon karyawan yang dikuatirkan mengecoh para perekrut dalam menilai kandidat, disebut-sebut dengan menggunakan istilah image management. Sayang sekali forum tanya jawab terlalu singkat sehingga saya tidak berkesempatan meluruskan pemahaman saya tentang istilah tersebut.


 


Bayangkan diri Anda, sebagai pemberi kerja sebuah proyek bernilai jutaan dolar, berhadapan dengan calon rekanan yang berjas safari lusuh, agak terlalu ketat, dan potongannya kuno. Meskipun bapak ini bisa membuktikan hasil kerjanya baik, aman dan tepat waktu, Anda pasti lebih sreg bila pekerjaan jatuh pada rekanan yang berpenampilan keren, jas safarinya pas di badan, tersetrika rapi, celananya tidak berpotongan aneh, dan panjangnya pas menutupi sepatu, dengan kinerja yang sama. Kita lihat bahwa memoles sedikit ‘kemasan’, akan membetuk citra diri yang bisa berbeda 180°.


 


Bagi saya, di jaman yang makin berfokus untung-rugi dan perlunya output instan seperti sekarang ini, sukses seseorang tidak bisa lepas dari sejauh mana ’impact’ yang ia berikan pada lingkungan sekitar. Hal ini mustahil ia laksanakan tanpa kekuatan ’soft skills’, termasuk bagaimana ia mengelola ’kesan’ orang lain mengenai diri dan kredibilitasnya.


 


Kita Perlu ’Hadir’ dan Membuat Posisi


Mengapa kita tidak ingin terlihat saat menghadiri suatu undangan? Pertanyan ini perlu kita ajukan kepada para undangan resepsi yang enggan menemui orang yang kurang dikenal, bahkan tuan rumah, tanpa alasan yang jelas. Padahal kita sudah repot-repot datang untuk menghadiri undangan tersebut. Sama saja kondisinya, bila kita bisa mendapat kursi di deretan depan, tetapi dengan malu-malu menolak dan duduk di tempat yang tidak terlalu terlihat. Ini adalah sikap ’sok low profile’ yang keliru. Di era penuh kompetisi ini, setiap ada kesempatan, ’kehadiran’ kita perlu dibuat seefektif mungkin. Kita perlu membuat posisi yang kita kehendaki dan mengupayakan agar kehadiran kita membawa aura dan dampak positif. Kita perlu senantiasa menampilkan kredibilitas, kompetensi dan supremasi kita melalui gaya berkomunikasi, kekuatan mempengaruhi orang lain, dan membuat kesan yang tidak terlupakan. Hanya dengan kesadaran bahwa kehadiran kita harus dibuat berarti-lah kita bisa me-’manage’ keberadaan kita.


 


Mainkan Efek Psikologis


Semua orang sadar bahwa warna, kerapihan, kesesuaian dan pilihan bahan pakaian membawa efek psikologis pada pihak yang mencerapnya. Bila kita sendiri merasa kikuk, tidak pede, atau tidak nyaman dengan penampilan kita, misalnya saja karena ’salah kostum’, bagaimana kesan yang diterima orang lain akibat aura negatif yang terpancar dari ketidaknyamanan kita? Dengan sedikit mempelajari dampak psikologis persepsi orang lain terhadap cara berbusana, cara bicara, dan bersikap, kita bisa lebih menguasai situasi bahkan mempengaruhi kesan yang ingin kita ciptakan pada orang lain.


 


Bukan Sikap ‘Dibuat-buat’, Tetapi Membuat Sikap


Adakalanya kita lupa bahwa kita bisa memilih sikap kita sendiri. Jadi, sebetulnya sikap yang tidak tulus, arogan  dan dibuat-buat hanya ditampilkan oleh orang yang belum sadar akan adanya pilihan ini. Atau, orang juga tidak sadar bahwa ada banyak sikap positif  yang bisa dipilih, ketimbang sikap yang kurang simpatik. Setiap orang bisa memilih sikap untuk menjadi orang yang lebih ramah dan  santun, misalnya, atau lebih disiplin dan tepat waktu. Kita bisa memutuskan untuk lebih komunikatif dan semenjak detik itu berusaha merespons semua sms, email dan bicara dengan orang lain secara lebih terbuka. Tentunya niat kita untuk menampilkan sikap tertentu belum otomatis ditunjang oleh ketrampilan ’body language’, gerak, dan tutur kata yang sesuai. Inilah sebabnya kita juga perlu melatih diri untuk menyertai sikap yang kita pilih dengan gerak, kata-kata dan bahasa yang konsisten, agar  semakin ’oke’ di mata orang lain dan memberi dampak beda melalui hal-hal yang kecil namun berarti. Sering-seringlah memancing umpan balik dari orang yang kita temui sehingga kita tahu kecocokan sikap yang kita mau dengan yang dibaca orang lain.


  


Etiket Menggambarkan Etika


’Ja-im’, bisa juga berkenaan dengan sikap membuat jarak dengan orang lain, karena seseorang merasa ’tegang’ dan tidak ’pas’ berada dalam situasi tertentu. Jika kita tidak mengembangkan ketrampilan ”gaul” , tentu saja kita bisa jadi tegang karena tidak mampu menguasai situasi sosial yang tengah kita hadapi. Yang jelas, sekarang, kita akan malu bila tidak mempersenjatai diri dengan ketrampilan membedakan apa yang boleh dan tidak boleh dalam budaya korporasi dan bisnis, jamuan makan, cara bertelepon, cara beresepsi, cara antri dan masih banyak lagi situasi sosial lain. Penguasaan etiket dan tatakrama dalam berhubungan bisnis sudah harus sampai taraf trampil dan ”terbiasa” melakukannya, sehingga kita bisa terlihat ’tahu membedakan’ apa yang pantas dan tidak pantas. Kitapun  akan tidak dibuat susah dalam situasi sosial yang asing, bahkan merasa nyaman untuk mengalami dan menikmati kebersamaan dengan orang lain.


 


(Ditayangkan di KOMPAS, 2 Desember 2006)

For further information, please contact marketing@experd.com