was successfully added to your cart.

Corporate Culture : ANDA-lah ``Pemain``-nya

Bila anda memasuki ’banking hall’ Bank Niaga, misalnya,  Anda akan menjumpai personil dengan sikap yang ’seragam ’, dari satpam sampai kepala cabangnya. Bank yang menjadi pelopor ’customer focus’ tersebut sudah lama secara sadar berorientasi mencetak karyawan untuk menginternalisasikan dan saling menularkan nilai-nilai seperti integritas dan ’customer focus’, sehingga nilai-nilai tersebut terekspresikan dalam tindakan nyata, dan terasa sebagai ’budaya’ perusahaan yang khas.


Derap persaingan bisnis, tidak mengijinkan perusahaan berada dalam ’PW’ (posisi wuenak), dan menikmati budaya perusahaan yang sudah ada. Ada perusahaan atau organisasi yang ingin agar nilai integritas dihayati oleh pegawai sesegera mungkin, sehingga di mana-mana digantungkan poster yang meng-’iklan’-kan integritas. Sementara perusahaan lain, yang merasa bahwa karyawannya sudah cukup kuat menampilkan ‘compliance’, ingin agar nilai-nilai lain, misalnya  ‘profesionalisme’ yang diseragamkan dan dimantapkan.


Bagaimana bila kita berada di perusahaan di mana yang  menjadi ‘budaya’ adalah hal hal seperti: tidak terus terang berbicara, datang terlambat, mengambangkan masalah, tidak berkoordinasi, minim berkomunikasi, dan mentolerir kemandulan produktivitas? Dari pembicaraan di kantin seringkali kita dengar bahwa setiap individu merasa tahu persis lemahnya budaya perusahaan, tetapi ’merasa’ bahwa dirinya tidak terlibat dan terpotret. Pertanyaan yang sering diucapkan:”Kenapa, ya... di sini kebiasaannya seperti ini?”, tanpa menyadari bahwa yang dibicarakan (baca: perusahaan) adalah dirinya sendiri.


Jangan Tengok Kiri Kanan, Budaya Perusahaan  = Perilaku Saya


Tindakan yang paling aman tetapi usang adalah tidak melibatkan diri sebagai unsur paling penting dalam pembentukan dan pemantapan budaya perusahaan. Padahal, dari cara berpikir, berespons, cara berbicara, dan cara memproses kita lah budaya perusahaan dicerap oleh orang luar. Budaya adalah The way we do things around here.”  


Setiap karyawan modern dituntut untuk bisa merubah cara pandang dan reaksi-reaksinya sesuai dengan arah perubahan strategi perusahaan. Bila tadinya perusahaan biasa menangani pelanggan korporasi di mana kita biasa mengembangkan gaya gaul eksekutif dan sekarang perusahaan bergerak ke arah ”retail” di mana pelanggan perlu dilayani dengan lebih bersahabat dan non-formal, maka individu perlu mampu merubah sikapnya, menggulung lengan panjangnya, dan mungkin terjun ke pasar becek.  Individu perlu mengembangkan kemampuan adaptasinya seperti orang yang mendengarkan musik, yaitu mencerap, menangkap iramanya, menikmati melodinya dan kemudian ikut bergoyang sesuai irama yang tengah dimainkan.


 


Jadilah ‘Kepala’, bukan ‘Ekor’


Mengembangkan perilaku dan kebiasaan baru memang perlu enerji ekstra. Namun, ini adalah pilihan individu, apakah ia ingin semata menjadi “batu bata” dalam membangun budaya perusahaan atau “tukang batu”-nya.  Tentu saja, kita lebih baik mengambil peran proaktif dan kreatif dalam memahami, meminati, dan mengimajinasikan budaya ideal yang ingin dibangun dan kemudian menjadi pelopor dalam tim kita. Lebih baik menjadi “kepala” daripada hanya meng-“ekor” dalam pengembangan budaya perusahaan kita.  Enerji lebih akan datang dari diri kita sendiri karena kita merasa bahwa kitalah pemilik dalam pengembangan budaya tersebut.


Tanda-tanda Anda sudah terlibat dan ”memiliki” perubahan justru datang bila anda mengalami konflik atau dilema. Bisa saja konflik disebabkan oleh sikap resisten teman sekelompok, bahkan atasan Anda. Bisa juga konflik ada dalam diri Anda sendiri, di mana anda ditarik oleh 2 kutub yang ingin mempertahankan kebiasaan lama atau menjalankan sikap baru dengan penuh tantangan. Dan hal yang paling penting di sini adalah tidak merasa kecut dan mundur tetapi justru  memenangkan dilemanya.


Prinsip “I-WE-THEM-IT”


 


Dalam mengikuti pengembangan budaya perusahaan, individu selalu perlu memusatkan perubahan pada dirinya terlebih  dahulu, sebelum melihat lebih jauh :


 


l      I: Jadilah “The Super Power Can Do Man”, yang menjunjung tinggi etika kerja, kerjasama,  sikap transparan dan akuntabel. Ciptakan dan ekspresikan kebiasaan dan standar respons yang mudah dikenali orang lain, dan memberi efek pada citra perusahaan.


l      We: Tularkan semangat Anda ke rekan dalam tim, kemudian ke tim lain. Semangati kelompok untuk mempunyai “Esprit de Corps” yang  jempolan.  Jangan ragu mengemukakan saran korektif bila terlihat ada perilaku menyimpang di dalam tim anda.


l      Them: Perlakukan pelanggan, baik internal maupun eksternal, dengan semangat beda dan lebih. Beri ”kesan positif” dan beri warna pada servis anda.


l      It: Pandanglah perusahaan sebagai ”si dia” yang anda sayangi. Bela ”dia” sepenuh hati, dan upayakan sekuat tenaga agar perusahaan terlihat ”kinclong” dimata pihak luar.  


 


Bukankah kita sadar bahwa tanpa manusia-nya (baca: saya), budaya hanya akan menjadi “peninggalan sejarah” belaka?


 


(Ditayangkan di Kompas, 16 September 2006)

For further information, please contact marketing@experd.com