was successfully added to your cart.

“SOCIAL MEDIA: FRIEND OR FOE?”

“SOCIAL MEDIA: FRIEND OR FOE?”

Beberapa hari yang lalu terdapat reaksi Twitter berkenaan pemberitaan Trump. Twitter memberi catatan bahwa kebenaran berita beliau harus diperiksa terlebih dahulu. Hal ini tidak lazim dengan kebiasaan media social (medsos) pada umumnya, yang biasanya tidak menyaring berita sebagaimana layaknya media konvensional lainnya.  

Media sosial ini memang tumbuh secara tidak terkontrol sejalan dengan pertumbuhan teknologi. Tiba-tiba televisi kalah pamor ketimbang laman-laman web, seperti Facebook, Twitter, Instagram, You tube dan Pinterest. Laman-laman yang tadinya sekedar dimaksudkan agar orang bisa menyimpan memori, berhubungan kembali dengan teman lama, merencanakan acara, dan sekaligus berkomunikasi, tiba-tiba menjadi media penyebar berita secepat kilat. 

Sepuluh tahun yang lalu, kita tidak membayangkan betapa orang dengan mudah menembus media massa semudah membalik telapak tangan. Kebebasan berbicara sering diartikan secara terbuka tanpa kontrol yang orang merasa berhak berkomentar mengenai apa pun kepada siapa pun. Demi membuat suatu berita menjadi viral, tidak jarang berita hoaks pun disebarkan.  Dengan arus komunikasi yang seperti itu, tingkat profesionalitas sebuah berita seringkali terabaikan. Semua orang tiba-tiba bisa menjadi analis ekonomi, psikolog, ahli agama ataupun analis politik.

Sebuah penelitian mengatakan bahwa berita yang viral rata-rata mendapat 500 retweet di Twitter, 13.000 view di situs web, dan sekitar 125 komentar di laman webnya. Ini hanya penyebarannya. Bisa kita bayangkan bila dalam setiap kali retweet atau repost ini, ada yang mengubah isi sehingga tidak lagi sama dengan isi sebelumnya. Di sinilah kita melihat kebebasan pemberitaan berubah menjadi sekedar berita yang disebarkan tanpa tanggung jawab.

Hari-hari ini, kalangan tua maupun muda semakin fasih bermedsos. Semua orang meyakini, media sosial mempunyai dampak negatif. Namun, semua orang pun tetap menggunakannya. Dengan penyebaran berita yang demikian cepat, orang justru merasa dirinya menjadi outgroup bilamana mereka ketinggalan berita. Dengan akses internet yang demikian mudah, murah, dan meriah, komunikasi yang luas, tetapi dangkal sudah dianggap cukup.

Psikologi perilaku ‘bermedsos’

Kesulitan orang untuk lepas dari media sosial sebenarnya bisa diterangkan secara biologis. Otak memproduksi 2 zat kimia. Pertama, dopamine. Sering disebut sebagai pleasure chemical, yang didominasi oleh keinginan. Dopamin membuat kita senang mencari dan ingin menelusuri hal-hal yang kita ingin ketahui. Dopamin terangsang oleh hal yang tidak bisa diramal, informasi sepotong, yang justru sekarang ditampilkan di medsos, menyebabkan kita ingin menelusuri lebih lanjut. Zat kedua, oxytonin. Sering disebut sebagi zat kasih sayang, yang akan keluar pada saat kita memeluk atau mencium seseorang. Hasil penelitian mengatakan, seseorang yang mendapatkan respons di media sosialnya akan meningkatkan oxytonin dan membuatnya bahagia. Hal inilah yang menyebabkan orang tidak berhenti mengamati layar ponselnya dan menunggu-nunggu reaksi kenalannya terhadap apa yang ia tayangkan.

Media sosial memang memungkinkan kita untuk melakukan self presentation yang bisa disempurnakan karena orang bisa mengatur bagaimana ia mau menampilkan dirinya, pengalaman, bahkan binatang peliharaannya. Mengapa orang senang membuat selfie? Dalam ilmu psikologi, ada istilah looking glass self, suatu fenomena kita senang melakukan refleksi dari tanggapan orang ke foto diri kita karena kita tidak pernah bisa melihat diri kita secara utuh. Orang lain senang melihat wajah kita karena membangkitkan koneksi dan empati. Itulah sebabnya, orang akan memberikan like lebih banyak bila foto wajah kita yang terpasang. Memberikan like pada posting yang dipasang seseorang juga bisa menjadi sarana menjaga hubungan baik, karena menunjukkan kepedulian kita kepada individu yang melakukan posting tersebut.

Etiket bersosial media

Banyak orang yang aktif bermedia social bahkan bisa menghasilkan uang dengan banyaknya jumlah follower yang dimilikinya dengan misalnya menjadi endorser beberapa produk. Ada yang melakukannya dengan cara yang manis, yaitu ia menampilkan produk yang memang disenangi dan sesuai dengan citra dirinya selama ini. Ada yang melakukannya dengan tabrak lari saja, produk apa pun juga yang bisa membayarnya sehingga terasa agak dipaksakan. Ada pula yang melakukan cara yang kurang elegan, dengan menjatuhkan produk kompetitornya seolah-olah ia adalah pelanggan yang kecewa.

Kurangnya public awareness seseorang dalam interaksi media sosial bisa membangkitkan masalah sosial. Banyak orang dibutakan dan tidak mencari obyektivitas dari berita-berita hoaks yang beredar. Orang-orang inilah yang sering mengedarkan berita yang tidak 100 persen benar dengan tambahan kalimat just sharing tanpa memedulikan dampak yang ditimbulkannya.

Sesungguhnya etiket berkomunikasi yang umum tetap berlaku dalam media sosial. Kita perlu memilih bahasa dan kata-kata yang sopan, tidak menjurus dan membangkitkan emosi negatif. Kitapun perlu menghindari SARA dan berhati-hati dalam menyebarkan foto yang tidak umum seperti kecelakaan lalu lintas atau pembunuhan karena kita tidak tahu bagaimana kondisi psikologis penerima berita itu. Setiap individu juga perlu memeriksa validitas sebuah berita sebelum menyebarkannya.

Bila kita memuat tulisan atau kutipan dari orang lain, kita perlu mencantumkan nama penulisnya yang menunjukkan bahwa kita juga secara santun menghargai penulisnya.

Hal yang perlu kita waspadai juga adalah membeberkan informasi personal terlalu banyak bisa berakibat buruk pula. “Think twice before you act

Diterbitkan di harian Kompas karier 6 Juni 2020

#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #wfh #workfromhome #corona #covid19 #social #media

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com