was successfully added to your cart.

THINK BIGGER

THINK BIGGER

“Seorang politisi memikirkan pemilu berikutnya; seorang negarawan memikirkan generasi selanjutnya.” ~ James Freeman Clarke

Ungkapan ini menjadi sangat relevan dalam suasana politik saat ini, terutama dalam proses pengajuan calon wakil presiden kemarin. Wajah-wajah  calon pemimpin ini, dalam waktu dekat akan  terpampang di seluruh Indonesia dengan  sorot mata memanggil  dan menyerukan: “pilihlah saya”.  Tentunya ajakan ini sangat membutuhkan analisa dan pemikiran yang mendalam. Kita semua tentunya ingin mempunya pemimpin ideal yang dapat membawa kemajuan bagi negara ini.

Riset Experd membuktikan bahwa di masa perubahan yang cepat ini, sosok pemimpin yang ideal diharapkan bisa menanggulangi krisis sambil tetap mengkoordinasi timnya dan terus bergerak maju.  Namun beragam informasi yang beredar, pernyataan-pernyataan dari para pemimpin, bisa membuat kita bingung, apakah pemimpin yang akan kita pilih adalah seorang politikus atau negarawan. Atau kita memang perlu menyetujui  bahwa semua pemimpin negara harus pandai berpolitik, seperti kata Basuki Tjahja Purnama?

Pemimpin dalam kerangka politik

Tanpa bisa berpolitik, pemimpin negara yang kebetulan sedang memegang otoritas, sulit melakukan banyak hal. Kekuatan, sumberdaya serta distribusinya, pembinaan hubungan baik dengan para ‘stakeholders’ dan pengambilan keputusan  akan membawa dampak yang sangat besar pada negara dan rakyatnya. Seorang pemimpin yang negarawan selalu memikirkan masa depan jangka panjang negaranya dan tidak pernah berfokus pada keuntungan jangka pendek diri maupun golongannya. Seperti kata Prof Mahfud MD dalam polemik pemilihan cawapres kemarin, “Bagi kita yang terpenting NKRI ini terawat dgn baik. Keberlangsungan NKRI jauh lebih penting daripada sekedar nama Mahfud MD dan Makroef Amin.” Tentunya seorang pemimpin politik harus bermodalkan integritas yang menyertai kharismanya. Ia harus mampu mengukur situasi dan siap mengambil keputusan demi kepentingan orang banyak. Di sinilah ia membuktikan apakah ia seorang negarawan atau sekedar politisi yang tidak jelas berjuang membela apa dan berprinsip apa.

Seperti apakah pemimpin politik yang baik?

Ironisnya, pemimpin politik yang ideal seharusnya adalah mereka yang tadinya sebetulnya tidak bertujuan utama memegang posisi sebagai pemimpin. Mereka tidak punya selera besar pada power dan mereka diangkat karena para pengikut menghargai penilaian dan keputusan-keputusannya. Loyalitasnya diarahkan pada rakyat, bukan pada kelompok atau golongan tertentu, apalagi pada dirinya sendiri. Dengan sendirinya orang seperti ini akan tahan godaan materialistik apapun juga. Tentunya ciri-ciri ini datang dari orang berkarakter kuat dan berhati nurani. Dari sinilah karismanya muncul.

Karisma justru akan semakin terlihat ketika harus membuat keputusan yang tidak populer. Disinilah kepribadiannya terlihat di mana ia berani berdiri di atas sebuah prinsip demi membela kepentingan masyarakat luas. Iapun tidak takut untuk membentuk koalisi, mengusahakan cara persuasi yang fair dan bertanggung jawab. Jadi pemimpin politik bisa mendapat respek karena akuntabilitasnya. Mencari semua karakteristik inilah, yang perlu kita telusuri dalam diri mereka yang akan kita pilih sebagai pemimpin.

Pemimpin demi masa depan

Tugas pemimpin bukan  sekedar mengatasi krisis here and now saja, atau beragenda siapa yang akan menggantikannya 5 tahun mendatang. Pemimpin, terutama pemimpin politik diharapkan memikirkan nasib negara dan setiap aspek kehidupan rakyat yang dipimpinnya lebih jauh lagi, bahkan sampai ke beberapa generasi.  Iapun perlu memikirkan daya adaptasi rakyatnya. Di jaman perubahan seperti sekarang, pemimpinlah yang perlu menyadarkan rakyatnya tentang realita yang ada dan memobilisasi rakyatnya untuk bergerak menuju pada keadaan, pemikiran dan mindset yang baru. Padahal, siapa yang tidak tahu bahwa perubahan itu sulit dan bahkan menyakitkan. Dan tentunya, yang paling merasakan sakitnya, adalah pemimpin  itu sendiri.

Horison pemimpin

Ungkapan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai visi sering dianggap sebagai suatu hal yang lumrah bahkan klise. Pada kenyataannya kita bisa menyaksikan berapa banyak pemimpin yang tidak mempunyai kemampuan melihat jauh ke depan. Berapa pemimpin yang membiarkan kebakaran hutan dengan sengaja? Apakah ini bukan disebabkan karena cakrawala yang pendek, hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, bukan memikirkan masa depan lingkungan dan negara. Kemampuan menggambarkan visi adalah kemampuan melihat jauh ke depan, seperti layaknya seorang peramal. Visi memang adalah gambaran yang abstrak, namun akurasi, daya tarik dan imaginasi serta rasionalitasnyalah yang membedakan visi seorang pemimpin yang hebat dengan yang tidak. Pandangan ke masa depan inipun tetap harus diseimbangkan dengan 3 realitas yang perlu dihadapi: pertama nilai apa yang kita junjung tinggi, kedua: ketinggalan apa yang harus kita kejar dan prioritaskan, dan ketiga: kesempatan-kesempatan apa yang dijanjikan masa depan kita.

“Dynamic listening”

Pemimpin yang tugasnya ini ibarat mengendarai mobil sambil memperbaiki mesinnya, memang harus sangat istimewa. Selain harus memiliki sense of sight yang kuat, ia pun perlu memiliki sense of hearing yang mumpuni. Di sinilah kita melihat begitu banyak contoh pemimpin yang dikelilingi pembisik, sampai pada akhirnya tidak memiliki data yang akurat dan akses ke realitas. Di jaman perubahan seperti ini, kegiatan pasang kuping pemimpin tak boleh berhenti. Ia perlu mendengar keluhan dan celoteh semua lapisan, semua golongan dan generasi. Seorang ahli mengatakan bahwa cara mendengar tingkat tinggi adalah bila kita bisa mendengar secara analitik dan secara musikal. Artinya, pemimpin yang baik selalu mendengar suara yang teraga maupun yang tidak teraga. Ia harus kuat melakukan listening between the lines.

Melihat semua karakteristik pemimpin, kita bisa mengambil kesimpulan betapa beratnya tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin, apalagi pemimpin politik yang benar-benar mau berbakti demi negaranya. Masihkah kita menyia-nyiakan hak suara kita atas dasar emosi sesaat dan egoisme semata? 

Diterbitkan di harian Kompas tanggal 18 Agustus 2018

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com