was successfully added to your cart.

PEMBELAJARAN KEPEMIMPINAN

PEMBELAJARAN KEPEMIMPINAN

DENGAN mengglobalnya pendidikan, banyak lembaga besar bekerja sama dengan sekolah-sekolah bisnis ternama mengirimkan calon pemimpinnya untuk belajar. Biaya pendidikan yang tidak sedikit ini tentunya berimbang dengan kebutuhan tiap lembaga untuk mencetak pemimpin-pemimpin baru.

Kita semua mengharapkan pemimpin yang kuat, dicintai bawahan, mampu menggerakkan tim ke tujuan yang jelas, tidak menunda nunda, dan mampu mendistribusikan beban kerja dengan prima sehingga bawahan merasakan kebersamaan yang menyenangkan, dan sekaligus mau bekerja keras untuk menunjang pencapaian visi organisasinya. Namun, sudah seberapa banyak kita melihat keberhasilan dari upaya-upaya ini? Apakah sudah terlihat para suksesor yang bisa menjadi penerus pemimpin sekaliber Agus Marto, Sri Mulyani maupun pemimpin-pemimpin hebat lainnya?

Literatur mengenai kepemimpinan dan upaya suksesi memang sangat banyak. Namun demikian, kita memang tetap masih perlu mempertanyakan bagaimana kita melatih seorang individu agar ia kemudian menyandang kualitas-kualitas kepemimpinan yang hebat. Bahkan, ada sebuah tulisan yang membandingkan bagaimana Ronald  Reagan, yang berkiprah di dunia film bisa lebih berhasil dari George Bush yang konon lulusan sekolah bisnis terkenal. Kita juga baru-baru ini terhenyak melihat kejatuhan karir Travis Kalanick, salah satu pemrakarsa dan CEO Perusahaan pengangkutan berbasis online, Uber. Meskipun Kalanick seorang pebisnis jenius, ia ternyata sudah membuat 14 eksekutif dibawahnya mengundurkan diri, mengakibatkan goyahnya kultur perusahaan dan hilangnya rasa percaya anggota timnya. Bahkan ia membuat perusahaan merugi sebanyak 708 juta dollar AS pada kuartal pertama tahun 2017.

Di sini kita bisa membuktikan bahwa walaupun seseorang pergi ke sekolah bisnis, belajar dari banyak studi kasus, ada beberapa aspek dalam kepribadiannya yang tetap tidak tersentuh, padahal hal-hal tersebut vital sebagai modal kepemimpinannya. Dari berbagai studi kasus, seseorang mendapatkan peluang untuk belajar hal-hal yang faktual, kompleks, dan rumit. Walaupun dalam pembelajaran ini ia diminta untuk melakukan permainan peran, aspek mendasar lain yang kita perlu pertanyakan adalah : apakah daya empatinya terasah di situ?

Banyak orang mengatakan bahwa kepemimpinan Sri Mulyani mengalami perubahan pada era kepemimpinannya yang kedua. Di sisi mana beliau berubah? Konon orang-orang dekat yang mengalami perbedaannya mengatakan bahwa beliau lebih tenang, lebih çool,dan alhasil lebih siap menghadapi tantangan yang berat.

Refleksi

Dari kenyataan kenyataan di atas, kita melihat bahwa pengembangan kepemimpinan memang tidak bisa sekedar menyentuh aspek kognitif. Walaupun melalui berbagai studi kasus seseorang belajar mengelola kompleksitas, risiko, dan peluang, pertanyaannya, apakah si pembelajar juga sempat mengasah  emosinya dan merefleksikannya ke dalam jiwanya? Dari  buku-buku kita juga belajar dan sadar bahwa self awareness itu amatlah penting. Namun bagaimanakah mengajarkannya?

Masih banyak kompetensi  penting lainnya yang terbukti sangat ampuh dalam memimpin. Termasuk bagaimana kita mengelola emosi para followers kita, bagaimana berkomunikasi dan berhubungan secara otentik dan bermakna, bagaimana menginsiprasi, berempati, dan mendukung bawahan. Joshua Spodek dalam bukunya “Step by step leadership” menyatakan : “What holds people back isn’t not knowing what skills to have but how to get them and use them effectively. Intellectually knowing that self-awareness is important doesn’t increase yours. I know the principles of playing piano. But I haven’t practiced, so I can’t play.”  Spodek juga mempertanyakan, bisakah kita mengajarkan integrity melalui kuliah-kuliah moral? Berapa banyak buku yang harus dibaca untuk menambah greget kepemimpinan seseorang? Spodek mengatakan bahwa tantangan untuk menjadi seorang pemimpin hanya bisa dilakukan dengan latihan. Seorang pemimpin perlu mengasah ketrampilan sosial, emosional dan ekspresinya.

Praktek, gladi resik, praktek lagi

Menteri Susi Pudjiastuti adalah contoh pemimpin yang pembelajarannya dilakukan di lapangan. Pendidikan sampai kelas 2 SMA tidak membuat ia berhenti belajar. Ia tetap membaca, berhubungan dengan berbagai macam orang, mengalami banyak sukses dan gagal namun belajar dari setiap kekecewaan dan kegembiraan itu. Demikian pula Richard Branson, Bill Gates, Oprah Winfrey, Sean Combs, Jack Ma, Michael Dell, Elon Musk. Mereka adalah para pembelajar lapangan yang berhasil. Tanpa mengecilkan pendidikan formal, ada berbagai cara belajar lain, yang mengasah mereka menjadi pemimpin-pemimpin tangguh.

Pengalaman lapangan penting untuk membentuk kualitas kepemimpinan dalam 4 hal, menurut Spodek. Pertama, pengenalan diri akan motif, emosionalitas, kapasitas sosialnya, ekspresinya. Pemimpin harus mampu menggambarkan dirinya, sebagaimana orang memandang dirinya. Kedua, Ia perlu mengelola emosinya termasuk kemarahannya, kesedihannya, curiganya, dan keputusannya, Disinipun ia perlu mawas diri mengatur reaksinya, sesuai dengan harapan orang lain. Ketiga, ia harus bisa mengenal orang lain, terutama bawahannya. Blusukan ke lingkungan anak buah, bahkan kerumah dan mengenal keluarganya akan mempermudah berkembangnya empati dalam dirinya. Keempat adalah kemampuan mengelola hubungannya dengan orang  lain yang bisa berbuah sesuatu yang positif. Kesemuanya ini perlu dipraktikkan dan selalu perlu dievaluasi. Dengan demikian jiwa kepemimpinan individu dijamin akan lebih kuat, dan akan menunjang rasionalitasnya.

Dimuat dalam KOMPAS, 23 September 2017

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com