was successfully added to your cart.

SAKTINYA KEBERAGAMAN

SAKTINYA KEBERAGAMAN

ZAMAN sungguh sudah berubah. Sekitar 40 tahun yang lalu, ada quota tertentu  untuk golongan minoritas, ketika ujian masuk perguruan tinggi, sehingga terlihat sekali perbedaan jumlah kelompok minoritas dan mayoritas. Seringkali kita melihat bahwa golongan minoritas kemudian menutup-nutupi identitasnya, agar tidak kelihatan beda. Bully-mem-bully sudah dianggap biasa dan diterima sebagai fakta yang harus dihadapi.

Situasi sekarang sudah berbeda. Saat ini, olok-olok mengenai kesukuan, latar belakang bahkan agama pun sudah lazim di organisasi-organisasi yang berpikiran terbuka. Panggilan mba, butet, cici, uni, masuk dalam keseharian dan dipraktikkan dengan penuh sense of humor serta toleransi. Namun, dalam kondisi ketika keberagaman sudah diterima dengan baik, tiba-tiba kita dikejutkan dengan isu-isu perbedaan, yang semakin meruncing. Kemana toleransi dan kemana hilangnya nikmat bertetangga dengan agama dan suku lain? Bukankah sudah sejak jaman kejayaan rempah kita diberkahi keberbedaan yang justru saling mengisi.

Masih ingat perayaan HUT ke-72 kita di istana? Tidak ada seorangpun yang bisa menyangkal keindahan, keberagaman, kekayaan suku bangsa, agama, budaya dan pakaian adat berbeda-beda serta berwarna-warni. Bukan itu saja, bahkan pihak-pihak yang berbeda paham politik, idealisme, dan menyimpan dendam pribadi, ternyata hadir, bersalaman dan duduk bersama. Tuan rumah Bapak Joko Widodo, presiden kita, melayani tamu dengan pendekatan yang sangat personal. Di sinilah kita terhenyak menyaksikan usaha nyata untuk menyulam keberagaman dan mengurai dendam, yang direpresentasikan oleh  sebuah pesta yang demikian kuat dan indah.

Keberagaman bukan pilihan

Akses global yang tidak berbatas dan kecenderungan desentralisasi, baik dalam organisasi bisnis maupun dalam pemerintahan, mendorong kita untuk menyadari urgensi keberagaman. Sekedar slogan-slogan keberagaman sudah tidak lagi cukup, karena tidak menembus mindset dari masing masing individu. Setiap individu perlu menampilkan komitmennya untuk merangkul keberbedaan, lalu mendorong perubahan. Keberagaman, dengan segala respek dan perasaan positif, sebenarnya merupakan aset yang teraga maupun tidak teraga dari suatu lembaga. Tidak ada yang bisa hidup dan mempunyai kekuatan di lingkungan yang homogen lagi.

Menerima keberagaman bukan lagi sekedar menemukan dan menyadari perbedaan. Menerima keberagaman berarti tidak memojokkan orang berdasarkan suku, jender, ras, agama atau karakteristiknya yang khusus. Saat kita mengecap perempuan dengan cara menyetirnya yang kurang terampil atau saat menerapkan persentase khusus untuk jabatan tertentu berdasarkan pertimbangan maskulin atau feminin, bisa dikatakan kita belum memahami arti keberagaman. Memang kita tidak bisa menghapus stereotip jender, kesukuan, maupun agama dalam sekejap. Namun, kalau berkehendak untuk maju dan berinovasi, kita harus berdiri di atas keberagaman ini. Keberagaman menjamin ide-ide dan perspektif yang bervariasi menuju inovasi. Keberagaman membantu kita menjadi lebih luwes menghadapi dunia luar, baik itu pelanggan maupun orang dari negara lain. Keberagaman mempunyai kekuatannya sendiri, bagaikan gurita berkaki banyak, yang tidak mudah ditumbangkan dan dipecah belah.

Mengurai benang kusut

Karena manusia hidup dalam kompleksitas budaya, asal muasal, dan genetis, hidup bersama dalam keberbedaan tanpa kesamaan tujuan tak ubahnya seperti benang kusut. Sekarang orang dengan cepat menemukan perbedaan terkait isu SARA maupun kesenjangan generasi. Namun, hanya orang yang tajam melihat masalahlah yang bisa menganalisis di mana simpul-simpul hambatan hubungan itu terjadi. Untuk itu, diperlukan kesadaran dan kesabaran pemimpin untuk bisa berkomunikasi, melakukan pendekatan komunal maupun individual. Timing yang tepat untuk memecahkan atau mendiamkan konflik juga perlu dihitung dengan super cermat. Semuanya dilakukan dengan pendekatan multidimensional.

Menyulam keberbedaan 

Upacara kemerdekaan yang meriah berwarna-warni adalah awal dari rangkaian panjang untuk menjadikan keberbedaan produktif. Kita tahu banyak daerah tertinggal dan tidak sama laju pengembangannya. Begitu juga dalam organisasi, pasti ada divisi yang lebih “seksi” daripada divisi lainnya. Di sinilah kebijaksanaan pemimpin diuji untuk bisa mengusung keberbedaan faktual ini menjadi beragaman yang harmonis. Bila memang belum setara, apakah kesempatan yang setara diberikan kepada yang ketinggalan untuk maju? Bila memang sangat tertinggal, tidak adakah hal yang bisa diusung untuk mengangkat gengsi dan harga dirinya?

“Sepeda” buat siapa saja

Hadiah sepeda untuk penjawab tepat 3 pertanyaan tadinya dianggap sebagai atraksi lelucon segar yang dimainkan presiden. Namun, melalui konsistensi, pelajar, mahasiswa di luar negeri bahkan sampai para menteri dan pejabat negara, mendapatkan hadiah yang sama, yaitu sepeda. Ini bukan mengangkat keseragaman, melainkan justru membuktikan mampunya si pemimpin menghargai prestasi dengan nilai dan respek yang sama. Semua orang happy, semua orang merasa “lucu”, tetapi yang paling penting semua orang digerakkan emosinya oleh arah yang sama. Barulah silaturahmi bisa dijalankan dengan pola yang tidak konfrontatif.

Hanya dengan menjunjung tinggi keberagaman ini, kita kemudian siap menghadapi tantangan bahkan ancaman luar. Ini disebabkan karena kita happy bersama, dan tidak panas melihat perbedaan, bahkan menikmati warna-warninya.

Dimuat dalam Kompas, 26 Agustus 2017

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com