was successfully added to your cart.

MEMANUSIAKAN MANUSIA

MEMANUSIAKAN MANUSIA

DENGAN berubahnya transaksi bisnis, percepatan perubahan, dan berbagai perkembangan teknologi, urusan etika dan sikap kerja seolah kurang mendapat perhatian. Terkesan bahwa etika bukan lagi hal yang penting untuk dibicarakan. Kita seperti kurang tergugah untuk memikirkan dasar-dasar etika dalam bertindak. Kita mengelu-ngelukan mereka yang bersalah dan menghujat orang yang bertindak benar. Namun, cara kita menghina atau mengelu-elukan mereka pun juga tampak tak peduli etika.

Kita lupa bahwa perilaku kita dalam bertindak, bereaksi, menegur, dan mengoreksi bisa juga merendahkan atau meninggikan martabat kita sebagai manusia. Bagaimana dengan tempat kerja? Apakah tempat kerja, yang tengah digeruduk oleh para milenial, juga beranggapan bahwa etika tidaklah penting? Apakah pencapaian financial menjadi prioritas utama dan satu-satunya? Sejenak kita perlu bertanya, hasil macam apakah yang akan diciptakan atau diinovasikan oleh individu-individu maupun organisasi yang tidak memedulikan etika?

Belakangan ini, EXPERD yang dikenal sebagai sekumpulan ahli ilmu manusia kebanjiran permintaan pelatihan ataupun riset terkait perbaikan sistem pengelolaan manusia. Para pemilik perusahaan dan manajemen puncak mulai menyadari adanya hal-hal lain selain aspek kognitif yang dibutuhkan untuk mengembangkan organisasi. Seberapa pun ahlinya individu, bila ia tidak memperhatikan perilaku dan etikanya, pada suatu saat ia dan juga organisasinya akan menghadapi kesulitan.

Etika sebetulnya memang dibuat manusia. Etika adalah standar acuan atau tidak baiknya tindakan seseorang, dengan mempertimbangan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih luhur seperti keadilan, kejujuran, penghormatan pada sesama manusia, kesehatan lingkungan, dan hal-hal lain yang lebih luas dan lebih tinggi. Namun, dengan adanya perbedaan pandangan antargenerasi, termasuk dalam penghayatan etika bisnisnya, pengabaian terhadap nilai-nilai luhur ini kemudian menjadi problem yang serius. Sudahkah kita memikirkannya?

Urgensi pemikiran etis

Kita sekarang dihadapkan pada berbagai tontonan yang menyeramkan. Plagiarisme tanpa rasa malu, sadisme kejahatan yang terekam kamera, dan senyum semringah para koruptor di media, membuat diskusi publik menjadi ramai dan dipenuhi perang komentar. Namun, pernahkah kita bertanya: apakah saya sendiri juga menjunjung tinggi etika dalam bekerja, dalam berinteraksi di organisasi, ataupun dalam berkomunikasi di media sosial?

Sehebat-hebatnya prestasi dan produktivitas, bila tidak dibarengi dengan sikap dan etika yang relevan, dampak negatif nya akan dituai di kemudin hari. Orang-orang yang tidak menjaga sikap dan etikanya di lingkungan organisasi sudah pasti adalah orang-orang yang tidak peka, terutama dalam memersepsi lingkungan sosialnya. Mereka tidak tahu bahwa orang lain bisa tersinggung oleh percakapannya, merasa dirugikan karena dijelek-jelekan, ataupun tidak menikmati suasana bekerja lagi. Sikap sangatlah bisa memengaruhi suasana kerja.

Sebenarnya apa dampak yang paling signifikan pada organisasi yang tidak memikirkan etika para anggotanya? Pada saat tejadi perubahan, organisasi ini akan sulit bergerak. Benak para individu tidak lagi alert. Ketidakwaspadaan ini disebabkan karena orang tidak terbiasa untuk memikirkan hal-hal di luar dirinya, termasuk organisasi. Pikirannya terpusat pada keselamatan dan keuntungan dirinya saja.

Urgensi mengejar harkat yang lebih tinggi

Di mana-mana kita menyaksikan berbagai bentuk tindakan tidak etis seperti korupsi, tertidur di dalam rapat, adu jotos di dalam persidangan, atau orang yang mendadak “lupa” akan ikrarnya. Orang-orang yang jujur, berintegritas, dan bertindak lurus menjadi sehingga kelihatan bersinar dibanding yang lain. Ini adalah timing terbaik bagi kita untuk meningkatkan daya saing di antara mereka yang sama-sama pintar, berpendidikan, dan berpengalaman. Nilai-nilai apakah yang bisa membuat kita stand out dibandingkan kebanyakan orang?

Pertama-tama, keterandalan. Kita perlu bertanya pada diri sendiri apakah selama ini kita bisa mewujudkan apa yang kita katakan dan janjikan? Apakah kita bisa men-deliver hal-hal yang diharapkan orang lain? Demikian pula dengan dedikasi. Kita juga sudah jarang membicarakan isu ini. Kita seolah hanya menjadi penonton dari kisah-kisah para heroes yang mendedikasikan dirinya di pelosok-pelosok desa untuk menolong orang melahirkan, membantu anak-anak belajar, dan menyelamatkan lingkungan. Namun, kita lupa bahwa sebagai profesional, politikus, atau pekerja pabrik, kita juga bisa menampilkan dedikasi yang tinggi. Dalam berkarya bagi organisasi sesungguhnya kita tengah dilatih untuk berpikir tentang “kita”, bukan hanya “saya”.

Marilah kita berupaya untuk menjadi orang yang tidak hanya pandai berdiskusi dan memecahkan masalah, tetapi juga mau memikirkan orang lain, menunjukan dedikasi dan keterandalan, serta berpikir besar bagi organisasi tempat kita berada. Etika memandu tindakan, cara berpikir, dan cara bereaksi kita terhadap sesama. Kekuatan kognisi saja tidaklah cukup untuk menciptakan kesejahteraan bagi semua. Dunia ini membutuhkan manusia-manusia yang mampu menunjukkan respek, kooperatif, dan memikirkan hal-hal penting yang lebih besar dan lebih luas daripada dirinya sendiri. “You are personally responsible for becoming more ethical than the society you grew up in”. Eliezer Yudkowsky. Jangan lupa, etikalah yang membedakan kita sebagai manusia dari semua makhluk yang ada di muka bumi ini.

KOMPAS, 15 Juli 2017

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com