was successfully added to your cart.

PARNO PRODUKTIF

PARNO PRODUKTIF

“TENANG saja Pak! Stay positive and optimistic.” Demikian terdengar komentar seorang manajer menenangkan atasannya yang panik karena penjualan menurun, sementara anggota tim masih tampak tenang-tenang saja. Memang, dengan menyebarkan kepanikan ke anak buah hingga menimbulkan rasa cemas, kita bisa juga tidak mendapatkan hasil positif.

Namun, sampai kapan kita boleh tetap tenang manakala persediaan tunai semakin menipis, ketika hampir tidak ada proyek yang gol? Apakah kita akan menjadi seperti katak dalam panci panas yang digambarkan oleh boiling frog phenomenon, yang tidak sadar akan perubahan suhu di sekelilingnya sampai terlambat sudah baginya untuk melompat menyelamatkan diri?

Perusahaan se-kreatif dan sebesar Microsoft saja sudah panik ketika cadangan untuk membayar gaji setahun ke depan sudah mulai terkikis oleh berkurangnya pemasukan secara drastis. Kepanikan ini memang biasa melanda para pimpinan perusahaan karena beban tanggung jawab yang diembannya untuk memastikan perputaran roda perusahaan dan kesejahteraan seluruh karyawannya, ketimbang mereka yang biasanya hanya berfokus pada pencapaian target divisi atau bahkan individualnya. Bisakah kita menghadapi kondisi perubahan yang terjadi sekarang ini dengan sikap santai-santai? Banyak orang yang setuju bahwa kita tidak boleh nyaman berada dalam comfort zone, tetapi tahukah kita cara untuk berbeda dan lebih produktif?

Suatu instansi independen yang menunjang lembaga Negara mendapatkan fakta bahwa engagement di instansinya cenderung merosot. Suasana di dalam perusahaan tersebut aman tenteram. Namun, ketenteraman tersebut tidak membuat keriangan individu bisa optimal. Menurut pakar motivasi Herzberg, orang dalam situasi ini tidak bahagia. Jadi, dikatakan bahagia sekali tidak, tetapi dikatakan tidak bahagia, juga tidak. Bila kita melihat keadaan finansial lembaga ini, kita sadar bahwa lembaga ini tidak mempunyai ancaman kekurangan dana. Jadi, memang rasa aman di lembaga inilah yang membuat suasana tenang. Namun, belum tentu bersemangat dan produktif.

Kita  melihat bermacam jenis comfort dalam kehidupan bekerja ini. Kenyamanan karena tidak tahu akan adanya bahaya dan ancaman, seperti krisis ekonomi, persaingan keras, ataupun matinya jenis bisnis karena sudah diganti oleh bisnis yang lebih ekonomis dan praktis. Ada juga kenyamanan karena memang kondisi ketertarikan kita dengan lembaga tempat kita bekerja sudah sangat aman, gaji pun memuaskan. Namun yang jelas, dalam kondisi yang penuh turbulensi seperti sekarang kita tidak mungkin memelihara sikap mental seperti ini. Apalagi bila kita masih muda dan produktif.

Jim Collins dan Morten Hansen dalam penelitiannya terhadap perusahaan-perusahaan yang bertahan dalam keadaan sulit, sebagaimana yang dituangkannya dalam buku Great by Choice mengungkapkan salah satu konsep yang penting, yaitu Productive Paranoia.

Di antara para pemimpin perusahaan-perusahaan hebat itu, tidak ada yang pernah puas dengan status quo. Mereka bukan panik ataupun kalang kabut, tetapi mereka tidak pernah berhenti mengajak para karyawan dan anggota tim untuk bersiap diri menghadapi segala kemungkinan, kekejaman, ketidakadilan, dan perubahan yang tidak disangka-sangka. Pimpinan perusahaan hebat itu mengajak karyawan untuk menjadi hipersensitif dan tidak pernah berhenti memikirkan masa depan.

“What if, what if, what if”

Saat ini hamper tidak ada lagi keadaan nyaman tenteram tanpa kekhawatiran. Kita yang sudah mengalami beberapa kali krisis harusnya tahu bahwa turbulensi itu pasti akan datang lagi. Apalagi kondisi politik pun terancam kestabilannya. Itulah sebabnya, setiap orang di masa sekarang tetap bisa bertanya what if dan memberi berbagai kemungkinan jawaban. Orang-orang seperti ini tidak pernah lagi bisa luruh diterpa badai sebab mentalnya sudah terlatih untuk berespon cepat terhadap badai. Herb Kelleher pimpinan Southwest Airlines, ketika menghadapi krisis pada 1991, mengajak para karyawannya untuk menerjang badai ekonomi dengan kesadaran akan kekuatan mereka. Pada masa susah dan senang, karyawan selalu diingatkan akan datangnya katastropi ekonomi. Ini membuat setiap orang tidak bersikap egoistis, picik, ataupun berkacamata kuda. The disruption itself does not determine your category. You do.

Paranoid produktif ini juga berarti membiasakan seluruh institusi untuk menghitung risiko. Kita harus tahu bahwa risiko ada yang benar-benar 100 persen hidup dan mati. Namun, ada juga risiko yang mesti berhitung lebih baik maju atau mundur. Mana yang menimbulkan kerusakan yang lebih kecil. Selain yang bisa dihitung, kita perlu memperhitungkan serangan yang tidak disangka-sangka. Kesemuanya ini juga memerlukan perhitungan mengenai timing: kapankah waktu yang tepat untuk maju, bergerak atau justru diam menunggu.

Kepekaan terhadap waktu juga perlu dilatih. Setiap anggota tim perlu mempunyai feeling yang sama mengenai sense of urgency. Kita bisa terlalu cepat bertindak. Namun, bisa juga terlalu lambat. Jadi, setiap orang perlu menanamkan pertanyaan kritikal dalam setiap situasi: “Berapa banyak lagi waktu yang kita punya sebelum ada perubahan?” Terkadang kita memang belum tahu jawabannya. Namun, paling tidak dengan menjaga pertanyaan itu tetap ada di benak kita, sikap bergegas kita niscaya akan terpelihara.

“Fear should guide you”

Bill Gates, yang sampai saat ini tetap terkaya di dunia, mengatakan, “I consider failure on a regular basis”. Menurutnya setiap orang perlu super waspada terhadap hal-hal yang bisa merusak organisasinya. Ketakutan ini kemudian perlu diolah menjadi persiapan yang matang dalam kondisi pikiran yang jernih.

Itulah sebabnya kita perlu berlatih untuk menggerakkan lensa perspektif kita, terkadang zoom ini, terkadang pula zoom out. Tak bisa lagi kita berkilah bahwa kita hanya mempunyai satu kapasitas, antara perspektif yang visioner atau yang mendetail. Kedua hal berikut harus bisa kita mainkan dalam benak kita: “a dual lens capability”. Jadi, What if you don’t have productive paranoia? Mati konyol di depan mata.

Dimuat dalam KOMPAS, 1 April 2017

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com