was successfully added to your cart.

PEJABAT

RIBUT-ribut pilkada untuk menentukan pemimpin daerah begitu serunya sehingga menjadi perhatian utama, baik di media sosial maupun pembicaraan sehari-hari. Maraknya proses pemenangan calon pimpinan daerah ini sampai-sampai nama calon pejabat sudah tidak mewakili tugasnya lagi, tetapi hanya penokohan atau simbol keyakinan tertentu.

Ini bukan pertama kali terjadi. Masih ingat bagaimana seorang menteri langsung mengadakan syukuran ketika diangkat menjadi pejabat? Baik masyarakat, maupun sang individu, kerap lupa mempertanyakan tentang esensi dari tugas dan tanggung jawabnya dalam jabatan tersebut. Dalam bahasa manajemen, seringkali kita mengenal penggunaan istilah “indikator kinerja” untuk mengukur sejauh mana seorang manajer dapat berkontribusi bagi perusahaan atau lembaganya.

Kita pun tidak pernah boleh lupa tentang adanya beberapa disiplin yang dipatuhi seperti landasan yudikatif, eksekutif, legislatif dan civil force serta kebebasan pers. Pertanyaannya, apakah baik si calon pejabat maupun masyarakat umum menyadari target dan ukuran seorang pejabat negara dengan jelas? Pernahkah hal ini menjadi bahan pembicaraan, baik dalam kehidupan sehari-hari masyarakat maupun dalam pidato-pidato para pejabat tersebut? yang sering terekspos hanyalah ketika di bawah kepimpinan seorang pejabat ada kegagalan dan masalah yang muncul. Selain itu keputusan-keputusan seorang pejabat, yang kemudian mengundang kehebohan, misalnya wacana mengadakan full day schooling.

Namun, tahukah kita apa yang sebetulnya telah dibenahi, dikembangkan, dan diwujudkan oleh seorang pejabat? Mengapa kita sering tidak berfokus pada hasil kerjanya, tetapi hanya pada sifat kepemimpinannya? Bahkan, terasa bahwa individu yang dekat dengan pusat kekuasaan atau mewakili kelompok tertentulah yang bisa menjadi pejabat. Apakah memang menjadi pejabat cuma perkara bermain peran sebagai pemimpin, tanpa harus tahu menguasai masalah dan bidangnya secara jeli dan tepat?

Dengan demikian, ia bisa membuat arahan, sasaran, dan perubahan yang diperlukan? Bukankah Ibu Susi mampu berkinerja dengan baik dan kelihatan hasilnya karena mampu menggarap akar permasalahan, serta berstrategi untuk memperbaiki keadaan? Apakah semua pejabat telah direkrut dan dipekerjakan berdasarkan standar kemampuan sesuai dengan job description-nya?

Banyak orang mengatakan bahwa pejabat tinggi cukup mengelola masalah politis, sementara hal-hal teknisnya dapat dikelola jajaran di bawahnya. Benarkah demikian? Dalam ketidakjelasan definisi kepemimpinan ini, pada akhirnya pejabat juga akan mengalami krisis indentitas. Posisinya gamang, tidak clear, dan bahkan sibuk berebut kedudukan tanpa memikirkan tanggung jawab yang menjadi konsekuensi jabatannya.

Dalam mengurus negara kita mungkin memiliki idealisme dan menganut paham tertentu. Namun, yang tetap perlu diingat bahwa calon-calon pejabat kita seharusnya adalah yang mumpuni, cakap menduduki jabatan, serta memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan dan menggerakkan perubahan.

Jabatan bukan sekedar kecermelangan

Melihat begitu besarnya semangat untuk memenangi posisi tanpa menyinggung kesulitan dan tantangan yang akan dihadapi ketika menjadi pelayan masyarakat, kita bisa mengatakan bahwa konsep kepemimpinan telah mengalami degradasi. Identitas pemimpin tampaknya sudah tidak lagi didefinisikan secara tepat. Pejabat hanyalah pemegang kuasa dan posisi tanpa merasa perlu menakar kompetensinya. Tugas dan tanggung jawab seorang pejabat bisa dikesampingkan, yang penting posisi dimenangkan dulu. Jadi, bisa dikatakan terjadi unleadearship.

Leadership cannot flourish with small minds, thinking about small things, in small ways. Ini semua gara-gara kita terlalu sering melihat jabatan dari segi title, pangkat, fasilitas, tetapi lupa pada tanggung jawabnya. Pejabat atau calon pejabat tidak lagi melihat dan merasakan apa yang menjadi sasaran utama pekerjaannya, yaitu melayani orang banyak, menghasilkan perubahan menuju pada keadaan yang jauh lebih baik, tanpa memikirkan keuntungan dirinya. Orang juga mungkin tidak begitu menganggap perlu bahwa pejabat harus memiliki pengamatan yang tajam terhadap potensi anak buahnya sehingga dapat membuat bawahan berkontribusi dan berprestasi. Apakah hal-hal seperti ini sudah dipertimbangkan dalam memilih seorang pejabat?

Pejabat = sopir

Seorang teman, dalam komentarnya di media sosial, menyebut kata sopir bagi jabatan gubernur DKI. “Sanggupkah beliau menyopiri DKI, ke tujuan yang lebih baik?” katanya. Ini adalah istilah yang tepat bila kita ingin menggambarkan peranan seorang pejabat. Si pejabat memang perlu berpikir keras, mencari jalan terbaik, yang paling tepat dan efisien untuk melakukan perbaikan dan pengembangan. Ia perlu memiliki gambaran yang jelas tentang ke mana bus dan penumpang akan ia bawa. Ia harus mematuhi rambu-rambu lalu lintas.

Penting bagi si penumpang untuk paham perubahan strategis apa yang akan dilakukannya. Untuk itu, seorang pejabat memerlukan kemampuan berefleksi, berpikir mendalam sehingga bisa menyelami masalah dan kemudian menciptakan visi, menentukan sasaran, berinovasi, dan memilih taktik yang tepat. Bukankah seorang pejabat harus menembus kesulitan dan birokrasi, menjembatani berbagai kesenjangan teknis, sosial maupun kultural berdasarkan trias politika yang digariskan? Ia pun mampu think big  bahkan bigger, sambil menjaga implementasi dan tetap mempunyai cakrawala masa depan.

Layaknya seorang sopir, seorang pejabat tidak bisa lepas dari tugasnya melayani rakyat dan menggunakan karakternya sebagai model untuk mengembangkan rasa percaya dan keyakinan rakyatnya dalam mewujudkan perubahan. Good Leaders must first become good servants, Robert K Greenleaf.

Dimuat dalam KOMPAS, 18 Februari 2017

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com