was successfully added to your cart.

BLA...BLA...BLA...

BLA...BLA...BLA...

DEBAT pilkada baru-baru ini sungguh mengasyikkan. Apalagi membaca komentar orang-orang dari yang awam, ahli, hingga yang mendadak menjadi ahli memberikan beragam komentar baik yang lucu, menghina, maupun salah fokus. Di balik beragam analisis, tampak bahwa banyak dari kita yang sadar, debat dalam rangka pemilihan umum ini sangat serius untuk memahami latar belakang kandidat, seperti apa dia sebagai pemimpin nantinya sebelum kita menjatuhkan pilihan.

Banyak orang berkomentar, ada pasangan calon yang tidak mempunyai data dan pengalaman sehingga memang mudah dipatahkan argumentasinya. Pasangan lain yang berusaha mengungkapkan data, ternyata masih juga bisa dipatahkan argumentasinya. Pasangan lain berusaha mengungkapkan data, ternyata juga masih bisa dipatahkan, ketika ada datanya yang tidak 100 persen benar.

Melihat pendapat para penonton seperti ini, bisa saja kita berkesimpulan bahwa peserta debat yang tidak memegang fakta, apalagi pengalaman, pasti akan kalah. Benarkah begitu? Benarkah orang yang tidak berpengalaman, tidak mempunyai kesempatan untuk mengambil tanggung jawab dari pekerjaan atau jabatan tertentu? Tidak bisakah ajang debat dimanfaatkan untuk membuktikan kompetensinya? Tentu harus ada cara yang ampuh untuk bisa meyakinkan penonton dan para pemilih, bukan? Bukankah critical reasoning bisa dipertontonkan dengan cemerlang, melalui data dan logika yang dikaitkan dengan deskripsi, narasi dan gambaran yang baik.

Debat harus rasional

Walaupun tidak sama, kita bisa menganalogikan situasi debat tersebut dengan sidang skripsi. Kita tentu merasa kecewa bilamana sang mahasiswa tidak menggambarkan fakta atau opini yang rasional. Kita perlu menyadari bahwa dalam debat, kita harus mengajukan argumen yang kuat disertai dengan data dan fakta.

Sebuah debat adalah komunikasi yang berupaya secara rasional meyakinkan penonton untuk menerima pendapat kita melalui argumentasi. Argumentasinya tidak boleh irasional, tidak pula berdasarkan passion, emosi atau malah harapan yang belum tentu menjadi kenyataan. Jadi tentunya, pernyataan dalam debat ini harus merupakan hasil pemikiran dan perencanaan yang hati-hati, dengan bukti yang jelas sehingga bisa merangsang dan menggelitik penonton untuk setuju dengan pendapat kita yang berbeda dengan lawan.

Kita mesti juga mempertajam “point” kita dan menampilkan keunikan dan kebenaran pandangan kita itu. Konsep utamanya adalah bukan sekedar memenangi perdebatan, tetapi membuat penonton meyakini kita. Terkadang orang merasa yakin bahwa fakta-fakta saja sudah membuat penonton jatuh hati, padahal kita lupa bahwa keyakinan perlu juga dikuatkan dengan permainan argumentasi.

Argumentasi inilah yang nantinya akan membuat penonton lebih yakin. Untuk itulah kita perlu sekali pertama-tama memahami apa yang ada di benak penonton ataupun lawan debat kita, apa yang awalnya menjadi keyakinan mereka, mencari celah atau titik lemah dari apa yang mereka yakini tersebut, untuk kemudian mengisinya dengan argumen yang tidak terdebatkan. Ada kalanya argumen yang kita ajukan di awal perlu mengandung pro dan kontra yang mewakili pemikiran-pemikiran dari berbagai pihak.

Dengan demikian kita akan dapat terlebih dahulu menarik simpati dari para penonton dengan pemahaman kita akan pemikiran mereka. Mereka akan merasa dipahami, didengarkan dan terwakili. Dari situlah kita mengajukan fakta-fakta yang satu persatu mendukung ataupun meruntuhkan pemikiran-pemikiran tersebut hingga akhirnya penonton dapat digiring ke arah yang kita tuju.

Selain itu, pandangan kita perlu menyatu dengan pribadi kita bahwa kita pun walk the talk terhadap apa yang kita ungkapkan sehingga simpati akhirnya ada di kita sebagai pribadi. “It is your position, your proposition.”

Meyakinkan bukan sekedar “show”

Seseorang yang maju berdebat sebenarnya tidak berbeda dengan seseorang yang sedang mengajukan karya ilmiah. Isu yang diajukan terdiri atas 2 hal: fakta dan pendapat.

Fakta adalah hal yang biasa diverifikasi dan dibuktikan. Ada beberapa jenis fakta, pertama yang sudah menggunakan pengukuran ilmiah. Misalnya, kita tidak bias menyampaikan bahwa ada gempa yang sangat kuat tanpa menggunakan ukuran berapa skala richter-nya. Atau fakta yang memang sudah pasti natural, seperti terbitnya matahari yang pasti di sebelah timur. Fakta lain, bisa juga merupakan hasil observasi, baik dari kita maupun saksi mata.

Dalam riset, kita juga bisa mempresentasikan fenomena-fenomena sebagai hasil pengamatan longitudinal, dengan banyak kasus pendukung. Hasil statistik bisa menjadi fakta yang mengejutkan dan bisa meyakinkan orang, apalagi bila analisisnya sudah dipersiapkan secara menarik.

Hal yang kedua, opini, juga fakta yang bisa meyakinkan penonton. Dalam hal ini, kita bukan berbicara mengenai opini kita sebagai pendebat, tetapi haruslah didukung opini dari sang expert. Expert yang kredibel, bukan yang tidak dikenal orang atau dadakan. Seorang pendebat tidak bisa sekadar membuat definisi dari konsepnya tanpa menguatkannya dengan opini ahli tentang konsep tersebut.

Mengingat penonton kita sekarang ini sudah cukup cerdas dan kritis, pendebat harus bisa mengajukan solusi yang menurutnya tepat untuk dijalankan lengkap dengan langkah-langkah strategis bagaimana mewujudkan solusi tersebut. Dari sanalah penonton dapat mempertimbangkan apakah argumen Anda cukup mumpuni dan patut mendapatkan dukungan mereka atau tidak. Menjual solusi yang mengawang-ngawang bisa terlihat kurang menghargai kapasitas intelektual penonton kita.

Menguasai teknik berdebat

Persiapan yang baik tentunya sudah menjamin 70 persen kesuksesan, terutama jika kita berlatih untuk menghadapi debat. Kita perlu berlatih untuk menghadapi argumentasi pihak lawan. Memahami pola pikir dan agenda serta interest mereka.

Layaknya dalam strategi pertandingan olahraga, Anda perlu belajar mengenali gerakan-gerakan pemain lawan sampai Anda bisa memprediski arah gerakan mereka bahkan sebelum mereka mulai melakukannya. Tentunya pihak lawan pun mempunyai reasoning yang tajam. Kita pun perlu berhati-hati terhadap reasoning kita yang tak masuk akal, penuh emosi dan sterotipik. Berhati-hatilah membuat kesimpulan yang salah. Tak kalah pentingnya, kita juga mencatat hal-hal yang perlu kita ingat dan sampaikan agar tidak terjebak salah kata.

Kita perlu mengejar opini publik sampai mendapat komentar, “Wow, orang ini benar-benar memiliki argumen yang tak terelakkan.” Bukan asal bunyi dan mengucapkan janji-janji yang dia sendiri tidak paham bagaimana merealisasikannya. Information is knowledge, and knowledge is power.

Dimuat dalam KOMPAS, 21 Januari 2017

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com