was successfully added to your cart.

DARI “START-UP” MENUJU “UNICORN”

DARI “START-UP” MENUJU “UNICORN”

PASTINYA banyak yang tergiur mendengar kisah sukses para pengusaha yang sekarang memimpin dan memiliki perusahaan-perusahaan yang dijuluki unicorn, perusahaan yang bernilai pasar lebih dari 1 milyar dollar Amerika. Apalagi semua perusahaan tersebut dimulai dari nol, bahkan tanpa mempunyai kantor maupun modal besar. Kisah ini tentunya menginspirasi para milenial untuk mencoba dan berusaha berwirausaha. Walaupun belum sampai mencapai tingkatan unicorn, namun kita bisa melihat beberapa perusahaan restoran seperti Warunk Upnormal yang terus berkembang dan berekspansi. Yang jelas perusahaan-perusahaan start up yang sukses ini sering terlihat sederhana, walaupun semuanya memang berbasis teknologi. Benarkah itu? Dari beberapa perusahaan yang sukses di luar negeri, kita bisa mempelajari beberapa hal.

“Fast, intense, purpose-driven”

Bila kita berkesempatan mengunjungi kantor para unicorn ini, kita akan menyaksikan kantor yang seperti tidak beraturan, dengan anak-anak muda yang gesit, kreatif, dan pandai berseliweran. Terasa betapa mereka ini ahli, bertalenta, dan siap berinovasi setiap hari. Namun, hal yang sering kita lupakan adalah bahwa perusahaan-perusahaan ini ternyata sangat kuat dalam memegang misinya. Dengan misi yang kuat, para anggota tim dalam perusahaan tahu: apa, bagaimana, dan terutama adalah buat apa mereka berinovasi. Amazon, start up yang berdiri pada tahun 1997-an memulai bisnis dengan membuat surat kepada para stakeholders-nya. Surat ini sangat serius, berisi mimpi Jeff Bezos dan gambaran tentang masalah yang dihadapi pelanggan beserta solusinya. Ia juga menyertakan beberapa pendapat pelanggan, bagaimana ia akan memulai bisnisnya serta ajakan kepada para stakeholders-nya untuk melakukan langkah-langkah tertentu.  

Sama sekali tidak ada janji untuk cepat-cepat mendapatkan laba besar di dalam surat tersebut, karena baginya sepanjang setiap orang berpikir untuk pengembangan maka perusahaan pasti tidak akan mundur. Budaya bertanya dan mempertanyakan harus tumbuh dan mengalir dalam nadi setiap anggota tim. Semua orang harus mengupayakan evolusi. Di sinilah istilah disrupsi itu mulai muncul, karena perusahaan-perusahaan ini sangat aktif dalam menyerang pasar. Selain itu, kelompok start ups ini juga terlihat tangguh karena ditanamkan budaya berbuat salah adalah sebuah ajang pembelajaran. Bezos mengingatkan kembali pada kata-kata Thomas Edison penemu bola lampu: "I have not failed. I've just found 10,000 ways that won't work".  Pimpinan start ups juga senantiasa mengingatkan para anak muda ini tentang alasan mengapa mereka bersatu dan berkelompok. Ia terus menerus mengingatkan timnya agar senantiasa menjaga ide, passion, dan sikap yang mengarah kepada tujuan awal.

Mentalitas “operate like it’s day one”

Jeff Bezos mengingatkan timnya bahwa mentalitas yang harus dibangun adalah sikap menganggap setiap hari adalah day one dari usaha kita. Kita tidak bisa menganggap bahwa ini sudah day two, karena hal itu berarti, kita harus sudah merasa menyelesaikan sesuatu di day one sehingga semangat bisa sedikit menurun. Ketika seorang peneliti mengecek perusahaan start ups lainnya, hampir semua pimpinan menyetujui dikembangkannya mentalitas day one ini. Founder dari CancerAid, Dr. Nikhil Poovoah mengatakan, apapun yang sudah kita temukan sebagai inovasi, yakinilah bahwa ada 10 perusahaan lain yang juga sedang menggarap hal yang sama. Jadi kita memang perlu menjaga agilitas kita dan tidak pernah boleh terlena apalagi sampai berada di comfort zone.

Obsesi Kompulsi terhadap kebutuhan pelanggan

Beberapa pemimpin juga menyebutkan pentingnya melakukan perbaikan bahkan sebelum adanya keluhan. Masukan di hari pertama sudah signifikan untuk membelokkan arah inovasi. Semua perusahaan start up mengatakan bahwa mereka tidak pernah melepaskan pandangan mereka terhadap pelanggan. Kalau bisa kita bahkan menyediakan jasa yang belum disadari pelanggan sebagai kebutuhan, dan membangunnya menjadi sebuah kebutuhan semenjak pelanggan menggunakannya. Tengok arsitektur jasa-jasa yang ditawarkan Gojek. Dari pengantaran manusia dan barang berbagai ukuran, pemesanan makanan, beragam jasa servis seperti salon, pijat, dan pembersihan, sampai merambah kepada jasa metode pembayaran.  Pelanggan dikurung oleh jasa-jasa yang tadinya bahkan tidak terpikir akan mereka perlukan. Obsesi ke pelanggan ini juga menentukan kadar keintiman hubungan pelanggan dengan perusahaan kita. Even when they don't know it, customers want something better, and your desire to delight your customers will drive you to invent on their behalf.

Jadi kita memang tidak boleh berkedip sedikit pun dalam mengamati pelanggan ini. Bahkan kita pun perlu bisa mengimajinasikan kehidupan sehari-harinya sehingga bisa menemukan apa yang masih mereka butuhkan. Kita perlu banyak berbicara dengan pelanggan, mengobservasi, dan mengenal mereka lebih mendalam. Kita juga perlu berinovasi bagaimana kita bisa lebih membahagiakan pelanggan yang titik kepuasannya selalu bergeser mengikuti tren yang ada di pasar.

Berfikir jangka panjang

Walaupun kita memiliki kesan bahwa usaha start up ini cepat meledak, tidak ada pimpinan start up yang berpikir jangka pendek. Tengok bagaimana upaya promo dan marketing tetap dilakukan oleh Gojek yang sudah nomor satu. Sementara kita mungkin berpikir bagaimana perusahaan ini mencetak laba, mereka justru lebih berfokus pada pengembangan perusahaan. Sikap mental inilah yang membawa perusahaan-perusahaan ini ke kelas dunia, bahkan mengundang investor. Tidak ada hitungan laba 10-20 persen, Amazon selalu menargetkan laba 1-2 persen.

Work long hours, hard and smart

Bila kita ingin menjadikan perusahaan kita ini sebagai sebuah perusahaan unicorn, ketiga kriteria di atas ini seharusnya berjalan secara beriringan dan bukan memilih salah satu. Kita perlu mengumpulkan SDM yang memenuhi ketiga kriteria itu sekaligus. Orang-orang yang berada dalam tim haruslah memiliki design thinking yang sistematis, bisa melihat big picture perusahaan sekaligus juga berdisiplin untuk bertahan pada prinsip yang sudah ditegakkan.

Diterbitkan di harian Kompas Karier, 2 Maret 2019.

For further information, please contact marketing@experd.com