was successfully added to your cart.

SMARTPHONE ADDICT

SMARTPHONE ADDICT

MENJELANG akhir tahun ini, marilah kita melakukan refleksi kecil. Berapa banyak waktu yang kita habiskan bersama dengan orang-orang terdekat, dibandingkan dengan waktu bersama telepon pintar kita?

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 4.000-an orang dewasa menunjukkan, 38 persen mengaku bahwa mereka terlalu banyak menggunakan telepon pintarnya. Sebanyak 79 persen membukanya sebelum tidur, 55 persen memeriksanya dalam jangka waktu 10 menit setelah bangun tidur. Bahkan, Hilda Burke, seorang psikolog menyatakan bahwa gejala insomnia dan kecemasan juga meningkat sejalan dengan intensitas pemakaian telepon pintar yang berlebihan.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih terpaku padanya ketika makan bersama? Juga pada waktu sedang mengikuti rapat atau pelatihan atau bahkan ketika seru-serunya berpacaran? Kedekatan pada telepon pintar ini memang diawali dengan hal-hal yang positif. Ia dapat membantu kita untuk terhubung dengan teman lama, keluarga jauh, relasi bisnis maupun pelanggan, yang biasanya sulit berhubungan karena jauhnya jarak dan keterbatasan waktu. Berita, informasi, dan hiburan pun bisa didapatkan dalam satu ketukan. Inilah yang menyebabkan kita memang tidak bisa lepas dari telepon pintar kita. Apalagi dengan berkembangnya financial technology sekarang ini, kita semakin beralasan bahwa memang kita tergantung pada benda itu. Tetapi, apakah kita memang harus tetap terpaku pada telepon pintar kita, tanpa bisa lepas dari benda sakti ini?

“Multitasking” atau “addicition”?

Kita mengenal segala macam ketergantungan yang dianggap tidak baik bagi kesehatan jiwa. Namun, ketergantungan akan telepon pintar ini lebih sulit untuk diakui sebagai bentuk ketergantungan yang berdampak negatif karena individu bisa bersembunyi di balik konsep multitasking yang malahan bisa memberi label positif.

Seorang ibu mengatakan, sambil menyusui, ia bisa mengedit foto-foto bayinya di telepon pintarnya. Ibu ini bahkan tidak menyebut-nyebut quality time yang seharusnya dia rasakan bersama bayinya. Ia tidak merasakan bahwa ia menggunakan telepon pintarnya dengan berlebihan. Sebanyak 10 persen pengguna telepon pintar mengakui bahwa mereka membawa teleponnya ke kamar mandi dan tempat tidur. Bahkan, ketika sedang bercengkerama dengan pasangannya, mereka tetap mengusahakan agar benda itu tidak jauh jauh dari dirinya. Sebanyak 50 persen dari pengguna telepon pintar tetap menggunakannya ketika menyetir dan direspon positif oleh lingkungannya sebagai quick response. Tidak jarang malah ada atasan yang mengeluhkan anak buahnya yang tidak bisa lagi dikontak selepas jam kerja.

Sisi gelap penggunaan telepon pintar

Pada anak anak, kegiatan yang sangat terpengaruh adalah interaksi tatap muka dengan sesama teman dan anggota keluarga. Seorang psikolog di Korea membuat perhitungan yang membandingkan waktu berhubungan dengan telepon pintar dan tatap muka pada anak berusia 10 tahun. Hasilnya sudah bisa ditebak. Konsekuensi dari gejala ini sangat serius. Interaksi interpersonal membantu anak dalam kehidupan sosialnya, sementara telepon pintar tidak bisa mengajarkan ini. Anak perlu membedakan tindakan yang baik dan buruk, bagaimana bertenggang rasa, dan bagaimana mengekspresikan emosinya dengan tepat.

Tidak hanya pada anak-anak, orang dewasa juga terkena dampak ketergantungan telepon pintar ini secara signifikan. Berkutat secara eksesif dengan telepon pintar, membuat otak tidak melepas hormon melatonin, yang bisanya merangsang kita untuk tidur. Badan tidak mendapat sinyal bahwa kita lelah. Pola tidur menjadi buruk sehingga mengganggu fungsi kita sehari-hari.

Hal ini sudah pasti berdampak pada kondisi emosi dan psikologis kita, antara lain depresi, kelainan obsesif kompulsif sampai “nomophobia” (no mobile phobia) kepanikan bila tidak berada di dekat telepon pintar. Selain itu, kita juga perlu waspada terhadap berkurangnya empati kita dalam memberi perhatian ke lingkungan sekitar. Ada yang bercerita mengenai pengalaman ketika mobil yang dikendarainya mengeluarkan api dan ia berteriak-teriak minta tolong kepada orang sekitar untuk memberikan air, alih-alih membantu memadamkan api di mobilnya, orang-orang malah mengeluarkan telepon pintarnya masing-masing dan merekam kejadian tersebut. Kantor berita The Guardian bahkan menyoroti mereka yang datang ke lokasi bencana tsunami Selat Sunda kemarin sekadar untuk selfie.

Bagaimana memeranginya?

Penyadaran mengenai penggunaan telepon pintar yang eksesif ini adalah langkah pertama dalam upaya untuk membatasi penggunaannya. Batas antara kebutuhan untuk menggunakan telepon pintar dan tergantung pada benda itu sangatlah tipis. Ada yang mengatakan bahwa ketergantungan ditandai oleh semacam vibrasi, keinginan yang sangat kuat untuk meraih telepon pintar dan memeriksanya.

Di masyarakat yang semua komunikasi sudah digantikan dengan komunikasi melalui telepon pintar, ketergantungan ini memang sulit dihindari. Di Korea Selatan, pemerintah sudah menggalakkan pendidikan ke sekolah-sekolah akan bahaya ketergantungan telepon pintar ini.

Raja-raja digital seperti Mark Zuckerberg dan Steve Jobs melarang penggunaan telepon pintar pada putra-putrinya yang masih kecil. Bahkan, CEO Wallmart Doug McMillon dengan bangga mengatakan bahwa ia merdeka dari jajahan telepon pintarnya. Ia bisa tidak menyentuh telepon pintarnya sama sekali untuk waktu yang ia tentukan. Padahal, sebelumnya, ia pernah menyatakan bahwa semua panggilan dan pesan telepon pintarnya, tidak pernah tidak direspon segera olehnya.

Hal ini pasti beralasan kuat. Sementara itu, kita sendiri sering tidak menyadari dan tetap mengonsumsi telepon pintar ini seolah tidak bisa hidup tanpa benda ini. Padahal, pernahkah kita bertanya: apakah praktik ini tidak merusak kesejahteraan dan kualitas hidup kita?  Oleh karena itu, kita memang perlu merangsang diri untuk lebih banyak berinteraksi tatap muka serta membuat jadwal melepaskan diri dari telepon dan mengisinya dengan lebih banyak aktivitas luar ruang, seperti berkebun, berolahraga, maupun memasak bersama. Hasilnya sangat menakjubkan, kita jadi lebih rileks dan merasa lebih segar. Selamat mencoba.

Diterbitkan di harian Kompas Karier 29 Desember 2018.

For further information, please contact marketing@experd.com