was successfully added to your cart.

HUMAN CAPITAL INDEX

HUMAN CAPITAL INDEX

Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya manusia sebagai sumber daya yang tak ada habisnya, digalakkanlah pengukuran yang dapat membandingkan kekuatan Sumber Daya Manusianya sebagai “kapital” alias modal kekuatan negara tersebut.

Parameter Human Capital Index ini mengukur sejauh mana organisasi menggunakan, menempatkan, dan mengembangkan kemampuan individu untuk berkinerja dan membuat nilai tambah pada organisasi melalui  kompetensi, ekspertis, dan pengetahuannya. Hal ini berarti bahwa negara yang memiliki indeks yang cukup tinggi memiliki manusia-manusia dengan kompetensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain dengan indeks yang lebih rendah.

Bagaimana dengan negara kita? Di World Economic Forum's 2017, Indonesia sudah berhasil memperbaiki peringkatnya, dari peringkat 72 pada tahun 2016, menjadi peringkat 65 di antara 130 negara yang dinilai. Sebagai perbandingan di Asia Tenggara saja, ada 3 negara yang memiliki peringkat di atas Indonesia; yaitu Singapura (peringkat 11), Malaysia (peringkat 33), bahkan Vietnam (peringkat 64). Vietnam dan Indonesia memang menunjukan peningkatan yang signifikan dari tahun sebelumnya yang disebabkan oleh membaiknya pendidikan generasi muda, sebagai kekuatan modal utama negara di tahun-tahun mendatang.  Angka yang berkisar antara 1-100 ini mengukur pengembangan sumberdaya manusia yang banyak ditentukan oleh pendidikan formal, penempatan dan pengembangan ketrampilan, bagaimana dampak pendidikan formal terhadap tenaga kerja dan ‘know how’ yaitu tingkat penguasaan keterampilan spesifik sesuai dengan  kelompok umurnya.

Memulai dari kualitas pendidikan

Berkenaan dengan situasi Revolusi Industri ke-4 yang ditandai dengan penggunaan teknologi informasi untuk otomasi yang memaksa tenaga kerja untuk mengembangkan talentanya dengan lebih fleksibel dan cepat, Klaus Schwab, founder dari World Economic Forum mengatakan: "We are facing a global talent crisis". Menurut Schwab, kita memerlukan “mindset” baru dan revolusi drastis yang mengatur sistem edukasi yang lebih cocok dengan kebutuhan tenaga kerja di masa depan. Seperti yang diungkapkan juga oleh Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.”  

Jadi, setiap negara perlu meninjau kembali sistem pendidikannya, yang juga bisa disesuaikan dengan struktur demografis masing-masing negara, sehingga dapat membangun pendekatan yang lebih holistik dalam mengembangkan talenta. Dengan demikian, negara akan mendapatkan tenaga kerja yang lebih memiliki kemampuan belajar dan berlatih, serta mengakuisisi keterampilan-keterampilan baru yang dibutuhkan zamannya. Pertanyaannya, apakah pendidikan dan pelatihan di Indonesia saat ini sudah mampu memproduksi manusia-manusia yang tetap dapat mempertahankan sikap pembelajar dan terus adaptif dalam masa bekerjanya? Apakah kita sudah mengupayakan pendidikan berkualitas yang bisa mencetak manusia-manusia tangguh yang mampu menjawab tuntutan masa depan?

Pendidikan yang holistik

Dalam perkembangan global dan sebagai salah satu warga dunia, negara kita benar-benar harus menyusun strategi bagaimana kita dapat berpacu seirama dengan pergerakan dunia, agar kita dapat dihormati sebagai negara yang perlu diperhitungkan di tengah-tengah gejolak dunia. Sebenarnya bukan hanya negara kita saja yang panik, seluruh dunia sedang membakukan konsep-konsep pengembangan yang mengarah pada masyarakat yang lebih ‘sustainable’, sejahtera, keluar dari kemiskinan dan menjaga kelangsungan bumi.

Salah satu inisiatif yang dikemukakan secara global adalah diadakannya pendidikan berkualitas, yang menjamin terbangunnya sikap inklusif, fleksibel, serta lifelong learning. Pertanyaannya adalah apakah kita, Indonesia, sudah mengikuti tren ini? Ataukah selama ini kita masih berfokus pada literasi dan numerasi? Apakah kita meyakini bahwa pendidikan tidak sekedar transfer pengetahuan, tetapi justru suatu sistem holistiks yang didesain untuk membantu semua anak mencapai tingkat potensi yang paling optimal dan menjadi warga negara yang utuh dan produktif serta siap memimpin masa depan.

Education must fully assume its central role in helping people to forge more just, peaceful and tolerant societies,” demikian diungkapkan Ban Ki-moon, Sekretaris Jendral PBB, 2012. Jadi, pendidikan berkualitas perlu menyasar 2 tujuan, pertama pedagogis dan kedua pengembangan yang sasarannya adalah keaktifan dan produktivitas murid atau mahasiswa di masyarakat.

Pendidikan berkualitas bukan lagi angka atau jumlah kata yang sudah bisa dibaca seorang murid berusia 5 tahun. Fokus juga tidak lagi ditujukan pada pengajaran agar anak lulus tes, tetapi murid sebagai individu yang utuh secara sosial, emosional, mental, fisik, dan kognitif, terlepas dari siapa dia, apa gender, suku, status sosioekonomi dan lokasi geografisnya. Sekolah atau universitas yang berkualitas perlu mengupayakan agar siswa menganut gaya hidup yang sehat, mempelajari apa dan bagaimana ia harus bergumul dengan lingkungan sekitarnya, belajar aktif  dan berani bereksperimen, mempunyai akses untuk belajar mandiri, serta siap bekerja dan berpartisipasi dalam lingkungan global. Ini semua, seperti yang dikatakan oleh Jack Ma, harus dimulai sedini mungkin, “we should put hi quality teaching resources into kindergartens, elementary and high schools. It’s too late to mold talents in college and universities.

3 pilar pendidikan berkualitas

Dalam agenda ke-4 Sustainable Development Goals PBB, dinyatakan bahwa pendidikan berkualitas mempunyai 3 pilar:

Pertama, kemampuan menyediakan guru berkualitas, yang bisa mendorong siswa untuk berfungsi, berpikir, bersosialisasi dan berkarya secara optimal

Kedua, kemampuan untuk menyediakan alat pendidikan yang memadai. Mungkin dalam hal ini negara kita memerlukan akses ke internet dan komputer yang lebih intensif.

Ketiga, pengembangan professional dan vokasional yang tuntas dan dilakukan secara aman dan suportif.

Sudah waktunya bagi kita yang peduli untuk tidak sekedar melihat kesuksesan pendidikan dalam jenjang pembelajaran yang dicapai siswa, tetapi juga memperhatikan keluaran, produktivitas, dan kedinamisan si siswa ketika diterjunkan ke dalam masyarakat.

Diterbitkan di harian Kompas tanggal 15 September 2018

For further information, please contact marketing@experd.com