was successfully added to your cart.

MENGGAPAI ‘EXCELLENCE’

MENGGAPAI ‘EXCELLENCE’

Di banyak organisasi,baik di lingkungan swasta maupun pemerintahan, kita kerap melihat banyak keluhan terkait kinerja manusianya. Hal yang paling banyak terdengar saat ini adalah kurang fokusnya setiap individu dalam organisasi karena, misalnya sibuk berkomunikasi di ponsel, sehingga penyelesaian tugas utamanya terganggu.

HAL lain yang sering juga menjadi masalah adalah berkembangnya mentalitas “sio” yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh fokus yang kuat pada pencapaian target divisi sendiri sehingga ada keengganan untuk memikirkan orang lain. Dari sini kemudian tumbuh bibit-bibit sikap egois dan arogan yang menyebabkan suasana organisasi tidak nyaman lagi. Ketika kemudian terjadi konflik, apakah itu antar divisi ataupun antar individu, masing-masing pihak cenderung melempar tanggung jawab, sehingga akhirnya berdampak pada performa tim yang buruk. Kita kemudian bertanya “mengapa tidak ada sikap mental excellence di lingkungan kerja ini?” Apalagi, bila terjadi kesalahan fatal semisal kegagalan menjaga kualitas produk, atau pelayanan buruk yang diterima oleh pelanggan.

“The absence of  excellence mentality”

Biasanya istilah excellence kita kaitkan dengan masalah pelayanan saja. Dan sesungguhnya dalam hal pelayanan pengertian excellence dapat terdefinisikan dengan lebih jelas. Ini disebabkan karena umpan balik pelanggan yang menjadi ukuran utamanya. Pelanggan yang kritis tak akan sungkan memberi masukan blak-blakan. Bahkan pelanggan ini bisa saja pergi meninggalkan kita.  Namun, bagaimana halnya dengan industri produk, obat, ataupun pertanian?  Bukankah di sini dituntut pula hasil kerja yang excellent dalam berbagai aspek yang dapat meliputi aspek kerja tim, operasi, manajemen sumberdaya manusia, dan yang paling penting kepemimpinannya?

Pernahkah kita menemui seorang pemimpin yang tidak secara tegas menuntut pencapaian target terbaik, tidak meminta kualitas terunggul, melainkan hanya puas dengan upaya menepati deadline atau memenuhi kuantitas sesuai pesanan?  Pemimpin jenis ini mungkin dipandang sebagai seorang yang fleksibel, toleran, dan baik oleh bawahannya. Bentuk perilaku lainnya adalah mereka terbiasa mendelegasikan tugas tanpa mengecek kualitas kerja bawahan karena mengandalkan rasa percaya semata. Padahal mereka tidak bisa menjamin kualitas kerja tercapai 100 persen karena tidak menyaksikan sendiri.

Tentunya dalam kondisi kurang perfeksionis ini kita tidak bisa berharap banyak dari organisasi maupun manusia-manusianya. Hal inilah yang sering menjadi jebakan organisasi. Ketika ada pemasalahan dengan excellence, terkadang organisasi tidak tahu harus memulai dari mana. Para pemimpin organisasi seringkali tidak sadar bahwa yang perlu dipikirkan adalah keseluruhan budaya perusahaan, bukannya hal-hal yang terlihat di permukaan seperti aspek kerja tim, komunikasi maupun koordinasi kerja.

Kita melihat gejala imperfection ini menjamur di sekeliling kita. Pekerjaan dilakukan seadanya, hanya untuk menggugurkan kewajiban. Ketika melihat jalan retak, pagar ambrol, wc terbengkalai, maka kebanyakan kita mengeluh kecewa, karena pihak yang berwenang terkesan tidak peduli pada kualitas kerja yang baik. Bayangkan bagaimana halnya jika kelalaian ini terjadi pada situasi-situasi yang lebih berisiko, seperti jalur kereta api cepat, konstruksi gedung, atau lalu lintas penerbangan? Apa yang dapat kita lakukan untuk mencegah kegagalan yang fatal?

Visi dan misi milik siapa?

Sebagian organisasi sudah merasa puas ketika visi dan misi tertulis di dalam buku panduan, atau ditempel di dinding-dinding ruang rapat maupun koridor gedung. Isinyapun biasanya standar, atau sekedar mengikuti tren. Banyak juga pimpinan perusahaan yang menganggapnya sebagai sekadar persyaratan organisasi, dimana posisinya masih kalah penting dibanding pencapaian finansial. Namun, sebenarnya visi dan misi perlu digambarkan dengan jelas, komprehensif dan menarik agar setiap jajaran dalam organisasi mempunyai ambisi yang sama dengan ambisi pimpinan puncak. Ingat ceritera klasik di NASA, ketika seorang pembersih toilet ditanya apa pekerjaannya? Ia menjawab bahwa ia sedang sibuk menerbangkan orang ke bulan!

Kita tidak bisa menghasilkan keunggulan bila organisasi hanya dibangun dengan sasaran dalam satu dimensi saja, misalnya hanya melipatgandakan keuntungan maupun nilai penjualan. Perusahaan perlu memikirkan bagaimana menjadi sebuah purposed based organization. Salah satu pabrik obat yang tadinya mengklaim sebagai perusahaan farmasi, mengubah visinya untuk menjadi healthcare company. Sebagai akibatnya semua karyawan berjuang demi kesehatan, bukan demi produksi obat. Kesehatan dalam hal ini termasuk sterilnya obat yang diproduksi, tepatnya kompisisi dan proses pengepakannya. Setiap individu kemudian lebih jelas peranannya dalam organisasi dan kemudian bisa berfokus pada kualitas.

Proses role modelling juga perlu diperlukan. Kita perlu mengangkat individu-individu yang sudah menampilkan tingkat excellence yang baik sebagai contoh. Mereka perlu disorot, dibahas, dipuji, sehingga setiap orang memahami bahwa inilah perilaku yang diharapkan perusahaan dan tidak ada tempat bagi mereka yang berprestasi pas-pasan. Ketahanan mental dalam menghadapi tantangan juga bisa menjadi contoh. Kita perlu menegaskan bahwa kita berkomitmen untuk berkreasi, memecahkan rekor, dan mencapai hasil yang berkualitas luar biasa. Kemauan kita untuk mengejar the impossible. Inilah yang kita sebut sebagai pioneer mentality.

Dimuat dalam harian Kompas, 17 Februari 2018

For further information, please contact marketing@experd.com