was successfully added to your cart.

MONOTASKING IS THE NAME OF THE GAME

MONOTASKING IS THE NAME OF THE GAME

DALAM CV nya, seorang bergelar master menuliskan mengenai kekuatannya, yaitu multitasking. Ketika kami di Experd menggali lebih lanjut, ia menegaskan bahwa di jaman teknologi baru ini, dengan adanya ponsel pintar, media sosial, kita memang harus pintar-pintar ber-multitasking. Jika tidak, pekerjaan tidak akan selesai. Waktu 24 jam serasa kurang. Nah, bagaimana kita akan beradaptasi dengan semesta yang memang hanya menyediakan waktu 24 jam ini dan menganugerahi kita begitu banyak kemajuan yang bisa kita nikmati?

Apa benar kita bisa mencapai lebih banyak hasil dengan cara juggling antara tugas satu dengan yang lain? Anda bisa menelpon seorang klien, sambil mengecek Facebook, misalnya. Anda mungkin merasa bahwa Anda adalah seorang yang superproduktif, tetapi apakah Anda yakin bahwa pembicaraan telpon tadi efektif? Para ahli mengatakan bahwa fenomena multi tasking adalah “a Biological Impossibility”. Kita semua, manusia mana pun, mempunyai  bandwidth kognitif yang terbatas, yaitu jumlah pikiran dan memori yang bisa kita tahan dalam pemikiran masing masing, pada satu saat tertentu.

Ada orang yang bisa menahan kapasitas ini dengan baik, tetapi otaknya bekerja dengan keras dan juga harus menjaga aktivitas bolak balik yang begitu banyak. “Multitasking is not humanly possible,” demikian Earl K. Miller, profesor neuroscience di the Picower Institute for Learning and Memory di Massachusetts Institute of Technology. Menurut Prof Miller, kemampuan kita menyelesaikan tugas dengan baik, tergantung bagaimana keterampilan fokus kita pada tugas tertentu pada saat tertentu, apakah ini untuk 5 menit atau sejam sekalipun.

Bila kita melakukan multitasking, kita pasti membuat lebih banyak kesalahan. Jaringan syaraf otak harus memeriksa kembali apa yang sudah pernah ada dalam memori dan pernah ditinggalkan dan kemudian merekonfigurasi ulang. Ini melelahkan otak kita. Dan, kesalahan-kesalahanpun akan lebih  banyak terjadi.

 “People are much more efficient if they monotask,” demikian Prof Miller. Dan, dapat dipastikan, kitapun akan menghambat kreativitas kita bila kebiasaan multitasking ini kita teruskan. Dan, kreativitas pasti terjadi bila saluran pemikiran bertahan pada satu jalur terus. Otak kita ibarat otot, semakin terlatih semakin  kuat ia berfikir.

Produktivitas adalah “State of Mind”

Dalam dunia kerja, tentunya perusahaan berharap produktivitas alias hasil kerja yang optimal dari para karyawan. Jadi, kitapun perlu concern dengan hasil yang kita keluarkan. Menjadi sibuk dengan berbagai pekerjaan secara simultan tidaklah identik dengan produktivitas. Kita sebenarnya salah bila kita malah membanggakan kemampuan kita mengerjakan beberapa hal, tetapi tidak bisa membuktikan hasil kerja secara kuatitatif ataupun kualitatif.

Kita memang kerapkali berjuang untuk menyelesaikan tugas. Contoh: kita berusaha menyusun memo yang sulit, memeriksa pekerjaan anak buah, membangun relasi dengan mitra bisnis, dan merencanakan proyek baru. Ini adalah 4 tugas yang mungkin ber-deadline sama. Bisakah ada jalan lain kecuali menyelesaikannya satu per satu? Semakin kita keras hati terhadap kebutuhan berproduksi, semakin kita fokus, dan semakin mungkin tugas tersebut tuntas. Jadi produktivitas sama sekali tidak berukuran kuantitas saja, tetapi hal yang sangat  penting juga adalah kualitas hasilnya. Dengan berfokus dan terlatih untuk berproduksi dengan cara yang benar, kecepatan kita mengerjakan suatu hal bisa meningkat.

Meyakini Monotasking

Untuk mendapatkan kerja berkualitas, kita perlu menyosialisasi kualitas kerja sebagai hal yang utama. Kerja serabutan, serba dipegang, serba memperhatikan tidak bisa dihargai. Kita juga perlu mengingatkan teman kerja, bahkan atasan untuk menuntut dan bendorong pemberian tugas berdasarkan prioritas, walaupun sudah pasti tumpukan PR itu sebuah realitas.

Yang jelas, kita perlu menghindari godaan, seperti kebiasaan mengecek media sosial tanpa jadwal. Kitapun perlu membiasakan diri untuk hanya membuka 1 layar di komputer kita. Bila fokus terganggu, kita bisa membiasakan bergerak, berjalan berkeliling, dan kembali ke tugas semula.

Distraksi itu biasa. Kita memang mempunya insting primitif untuk bereaksi terhadap distraksi. Namun, hal ini bisa kita kendalikan dengan mengelola prioritas, mengelola passion dan mengelola emosi. Bila kita menyukai pekerjaan dan mengatakan “ini menari” maka sekuat kuatnya distraksi, kita pasti bisa menghindarinya. Dengan menyadari prioritas, kita bisa membedakan mana hal yang penting untuk dilakukan saat ini karena memiliki dampak besar terhadap pencapai tujuan, serta mana tugas-tugas yang bisa dilakukan kemudian.

Latihan yang paling mudah teorinya, tetapi sulit dilakukan adalah membiasakan diri untuk mengesampingkan ponsel, pada saat kita sedang melakukan interaksi tatap muka dengan orang lain. Kita bukan saja perlu menunjukkan ketertarikan, tetapi juga perlu meyakinkan pada diri sendiri bahwa lawan bicara kita ini menarik. Kita perlu menumbuhkan minat untuk mengenal orang lain di level yang lebih mendalam, dengan menunjukkan perhatian yang tulus. Kualitas dari tatap muka akan pasti lebih baik, dan terasa bahwa kita menunjukkan presence dan patience kita pada orang lain.

Semakin kita terbiasa fokus, dan berhasil mengabaikan distraksi, prefrontal cortex kita semakin terlatih, dan evolusi perkembangan otak kita semakin baik dan segar. Alhasil kita lebih mudah melakukan fokus.

Dimuat dalam KOMPAS, 12 Agustus 2017

For further information, please contact marketing@experd.com