was successfully added to your cart.

CUKUP

BEBERAPA waktu yang lalu di sebuah media sosial sempat viral cerita tentang sekelompok turis Indonesia yang mendapatkan denda di sebuah restoran di Eropa karena mereka tidak menghabiskan makanan yang dipesannya.

Rupanya karena begitu antusiasnya melihat menu, mereka memesan jauh lebih banyak dari yang mampu dihabiskan. Ketika ditegur oleh pengunjung restoran yang lain, para turis tersebut membela diri dengan mengatakan itu adalah hak mereka karena toh sudah membayar makanan tersebut. Pengunjung tersebut kemudian melaporkan pada petugas polisi setempat yang akhirnya membuat para turis itu harus membayar denda jauh melebihi makanan mereka.

Betapa hal ini kerap kita lihat terjadi di sekeliling kita, sisa makanan yang menumpuk di restoran, apalagi ketika itu adalah restoran buffet di mana orang merasa sudah membayar haknya, mereka menumpuk isi di piringnya penuh-penuh, kemudian hanya menyentuh sebagian dan beralih ke sajian lain. Mereka beralasan, kasihan perutnya kalau dipaksakan untuk menghabiskan semua makanan itu. Namun, entah mengapa di usianya ini mereka seperti tidak bisa mengira-kira kapasitas perut mereka sendiri ketika mengambil makanan. Mereka lupa bahwa masih banyak saudara-saudara kita di luar sana yang tidur dengan perut kosong.

Mengapa sulit bagi beberapa orang untuk meraba kebutuhannya sendiri, baik sehari-hari maupun dalam manajemen keuangannya. Tengok koruptor yang menyimpan uang dalam brankasnya hingga berjuta dollar. Terkadang kita tidak habis pikir, bagaimana cara mereka memanfaatkan dan menikmati uang tersebut; apakah mereka benar-benar membutuhkan uang sebanyak itu untuk merasa bahagia atau berkecukupan? Apakah bahkan individu seperti itu tahu rasa “cukup” ?

Banyak orang yang tampaknya sudah tidak familiar dengan konsep cukup ini. Banyak teman wanita, sering enggan ke pesta dengan alasan tidak punya baju. Padahal, baju di dalam lemarinya begitu bertumpuk. Banyak orang yang menuntut kenaikan upah dengan alasan klasik: sudah tidak cukup lagi. Bahkan banyak orang yang juga sudah tidak bisa mengerem hawa nafsu makannya, dan tidak mempunyai “rasa” lagi, bagaimana rasanya makan yang cukup itu. Punya 1 ponsel dirasakan kurang, 1 kendaraan di rumah tidak cukup, bahkan tidak terganggu dengan limpahan kepemilikan yang kadang banyak yang tidak terpakai.

Tidak merasa cukup = tidak bahagia

Baru-baru ini juga beredar di media sosial 2 foto yang membandingkan pasangan Mark Zuckerberg dan istri yang berbusana sangat sederhana, bersebelahan dengan foto ibu-ibu istri anggota institusi negara dengan pakaian dan aksesori lengkap yang mewah. Di bawah tayangan tersebut diberi komentar, “Mungkin orang yang sudah kaya sekali sudah tidak butuh apa-apa”. Benarkah begitu? Ataukah hal tersebut  dikarenakan kepandaian mereka dalam mendefinisikan konsep cukup dan menerapkannya dalam hidup. Mereka tahu bahwa kebahagiaan terletak pada kemampuan individu untuk merasa cukup dan bersyukur atas apa yang dimilikinya saat ini. Bahkan, keika dikaruniai putri, pasangan suami-istri tersebut membuat keputusan untuk mengamalkan hampir seluruh kelebihan hartanya. Mereka pasti khawatir bahwa bila tidak hati-hati, mereka bisa tidak bahagia, walaupun dengan harta benda yang dimilikinya.

Kita sering lupa bahwa bahagia tidak sebanding lurus dengan uang. Bahagia adalah bila seseorang merasakan kelegaan karena apa yang ia butuhkan terpenuhi. Dalam ilmu psikologi, sandang-pangan-papan adalah hal paling mendasar yang tidak perlu dikulik terus oleh individu yang sudah bisa memenuhinya dengan mudah dalam kesehariannya. Alangkah salahnya bila individu tetap berkutat pada materi sementara hal yang lebih tinggi kapasitasnya tidak sempat dipikirkan. Bisa-bisa ia malah mencari rasa aman, respek, bahkan penghargaan prestasi melalui materi. Pencarian yang tidak berujung karena esensinya memang bukan pada meningkatnya pencapaian, tetapi justru dari rasa cukup yang tidak bisa diketemukan lagi.

Menemukan “self sufficiency”

Betapa banyak kita melihat individu yang tampil cool dengan pakaian yang itu-itu terus, tetapi sangat memikirkan kesehatan mental, fisik dan spiritual. Terinspirasi oleh filosofi Zen, di jepang saat ini juga sedang berkembang tren untuk hidup minimalis. Mereka memiliki kurang dari 150 benda untuk kebutuhan hidup sehari-harinya. Mereka mengaku malah lebih berbahagia dengan pikiran yang lebih tenang karena tidak lagi khawatir dengan kepemilikian.

Orang-orang ini seolah sudah mencapai sasaran hidupnya sementara kita juga tetap menyaksikan bahwa mereka terus berkarya, bekerja keras, dan berkreasi. “Self-sufficiency” is the quality of feeling secure and content with oneself, a deep-rooted sense of inner completeness and stability. Dalam pengertian sehari-hari “Self Sufficiency” adalah rasa aman dalam penghargaan diri, di mana setiap orang tahu di mana letak pusat penghargaan terhadap dirinya sebagai orang yang bisa dihormati.

Pusat penghargaan diri ini bukan terletak pada prestasi, karya individu saja, tetapi juga afektif dan kognitif. Individu yang secara emosi merasa cukup mumpuni dalam kognisi, afeksi, dan kinerja akan merasakan keutuhan dan kesejahteraan yang lebih hakiki. Rasa ini bisa begitu mantap sehingga individu tidak membutuhkan pendapat orang lain tentang dirinya lagi. Ini bukan berarti bahwa individu yang merasa cukup ini menjadi orang yang “inhuman”. Mereka biasanya sudah memiliki centre of gravity yang menjadi modal kekuatan dalam menghadapi hal-hal negatif dan mampu bounce back dengan segera bila diperlukan.

Kekayaan orang yang merasa “cukup”

Ada beberapa efek positif dari orang yang berhasil memperjelas kecukupan dirinya. Orang-orang ini tidak mempunyai kebutuhan untuk mendapatkan kesan positif orang lain terhadap dirinya sehingga ia semakin lama semakin menjadi pribadi yang autentik. Selain itu, locus of control orang ini berada di dalam dirinya, bukan pada pihak eksternal. Jadi dia tahu bahwa dialah yang harus berupaya bila ia ingin mencapai tujuan tertentu.

Di sinilah kunci kebahagiaan orang yang merasa cukup ini. Kebutuhannya ternyata pas saja, tidak berlebih karena ia tahu batas kebutuhannya, tetapi ia kemudian menemukan kebahagiannya tanpa perlu menghiraukan jeritan-jeritan di dalam dirinya. Rasa kemanusiaannya juga bisa utuh, dan ia pun bisa tenang bekerja dan berkreasi dengan pihak lain. Self-esteem should be like a tree, deeply rooted in self-sufficiency, otherwise it will be fragile and unstable.

Dimuat dalam KOMPAS, 3 Juni 2017

For further information, please contact marketing@experd.com