was successfully added to your cart.

GAGAL PAHAM

BELAKANGAN ini, terutama di media sosial, kita banyak menemukan kata-kata yang sudah lama tidak menjadi default dalam percakapan. Kata-kata kasar seperti dungu, pander, bodoh terasa sudah kuno, dan sudah kurang sesuai dengan budaya yang canggih dan global saat ini. Namun, entah karena hati yang panas ataupun memang kegemaran menghadapi logika atau common sense banyak orang yang tiba-tiba jadi membingungkan, kata-kata itu kemudian muncul ke permukaan.

Ini adalah realitas yang cukup mengejutkan. Dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi dan kesempatan belajar yang semakin meluas, fenomena ini kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru. Apa yang salah sehingga kita melihat banyak orang sering seolah-olah tidak lagi berpikir jernih, tetapi langsung membuat penilaian? Mengapa kita berani berkoar-koar tanpa dasar fakta yang cukup? Bukankah di bangku kuliah kita belajar bagaimana mengungkapkan fakta, atau analisis dengan tepat? Bukankah, terlepas dari perbedaan disiplin ilmu, pada dasarnya kita harus mengikuti alur berpikir yang tepat dan berlandaskan pada kebenaran?

Faktanya hidup dalam kehidupan nyata, saya sendiri pun sering terjebak pada kesalahan pola pikir, yang hampir-hampir masuk ke alam bawah sadar. Tidak terasa lagi. Katakanlah dari pengalaman-pengalaman buruk dengan suku bangsa tertentu, kita sering membuat kerangka stereotip, yang semakin hari semakin kita perkuat. Ini membentuk sikap mental kita penuh bias sehingga terkadang kita tidak menjadi obyektif lagi.

Kita pun cenderung ingin dikelilingi dan mencari orang-orang yang berpikiran sama. Kita ingin mendapat informasi yang cocok dengan alam pikir kita, dan cenderung menolak pemikiran yang berbeda. Bila ada informasi yang cocok, kita langsung melakukan confirmation bias, dan mengatakan, “Tuh, kan… Apa yang saya bilang..”

Pikiran salah ini bisa berlangsung terus, sampai sampai, kita sering mengalami frequency illusion seperti bila kita sedang hamil, kita seolah-seolah melihat lebih banyak orang hamil berkeliaran di sekitar. Kesalahan berpikir ini hidup terus dan terpelihara sehingga kita mempunyai teori-teori yang kita ciptakan sendiri. Pada titik ini, sentimen bias berkembang menjadi dendam, yang akhirnya membuat kita menjadi makhluk yang cenderung tidak logis. Inilah yang akhirnya menentukan apakah kita akan tampil cerdas atau ngawur. Sulitnya, kegiatan berpikir ini bersifat pasif.

Dengan demikian, untuk memperbaikinya, kita perlu bekerja keras, apalagi bila ingin memerangi kebiasaan berpikir yang sudah menahun ini. Repotnya, banyak individu yang tidak mempunyai niat untuk memperbaiki cara pikirnya, dan berpikir bahwa pendapatnya benar adanya. Orang yang demikian, alih-alih bisa menjadi ilmuwan andal, bahkan kehidupan sosial di masyarakatnya pun tidaklah simpatik.

Pola pikir destruktif

Banyak orang yang sulit tersenyum. Mereka beranggapan bahwa hal-hal yang terburuk memang terjadi pada dirinya. Mereka mempunyai kebiasaan melihat kepada orang-orang yang lebih beruntung dan lupa melihat ke bawah. Orang-orang seperti ini kemudian terbiasa memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang buruk semata. Begitu berita negatif datang, rangkaian pemikiran bernada suram terpicu untuk bergerak. Hal-hal yang mengalir keluar bisa berbentuk gosip politik, kebencian, juga caci maki pada golongan tertentu. Dampaknya adalah hidup terasa suram, berwarna abu-abu, dan tak pernah merah muda.

Orang-orang ini pun cepat sekali mengambil kesimpulan. Pria yang sedikit melambai sudah dicap LGBT. Orang yang tiba-tiba sedikit boros, langsung dicap koruptor. Namun, penilaian dan segala dalil yang dibuat biasanya mengandung satu pengecualian, yaitu diri sendiri. Tanpa disadari orang-orang ini cenderung mempunyai ciri ‘the negative psychic’. Hanya karena kemasan pangkat, ataupun profesinya, gejala ini tidak begitu terlihat.

Menteri Susi pernah mengatakan bahwa dalam rapat-rapat kita perlu mengurangi kata-kata seharusnya  karena hal ini akan menjauhkan kita dari realitas, dan terdorong hanya kepada pendapat-pendapat. Bisa kita bayangkan, bila kita semua dalam lingkungan tertentu, memperbolehkan cara berpikir demikian berkembang subur.

Pola pikir maju

Pada zaman sekarang, ketika para generasi yang lebih muda cepat berpikir, berinovasi, dan berkreasi, kita perlu memperbaiki pola pikir yang tidak produktif. Zaman keemasan, dimana kita bisa menikmati hasil pendidikan tanpa berdisiplin menjaga kesehatan pola pikir sudah berlalu. Pola pikir kita sekarang harus tetap fit. Kita harus selalu mampu mencerna informasi, baik itu data maupun fakta baru dengan tepat. Untuk mencapai kebugaran ini, kita perlu mengenali kesalahan-kesalahan maupun hambatan-hambatan berpikir kita. Mawas diri adalah langkah pertama yang sangat baik untuk ditempuh. Langkah selanjutnya adalah sedikit mundur ke belakang dan berupaya keras mempertanyakan kesimpulan, penilaian, maupun asumsi yang kita buat secara kilat. Apakah kesimpulan saya sudah benar? Apakah saya memiliki fakta dan data pendukung? Apakah saya tidak terlalu cepat untuk menilai orang?

Kita tentunya akan merasa lega, bila kita berhasil meluruskan cara berpikir kita, dan mendapatkan pola berpikir yang lebih obyektif dan tepat. Cara berpikir seperti inilah yang bisa kita manfaatkan bila ada perdebatan keras, baik dalam politik, maupun pengambilan keputusan bisnis. Bila tidak, kita akan tampil seperti pelawak saja, di tengah orang yang benar-benar cerdik dan pandai.

Dimuat dalam KOMPAS, 18 Maret 2017

For further information, please contact marketing@experd.com