was successfully added to your cart.

Bukan lagi hal langka bila kita dengar berita atau cerita seperti: jembatan jalan tol rubuh karena kandungan material yang tidak sesuai spesifikasi, pejabat yang korupsi sampai bingung mencari cara untuk memanfaatkan hartanya, atau para guru bingung bagaimana me-”lolos”-kan murid-muridnya: memberi bocoran, jawaban ataukah membiarkan saja?


 


Yang lucu, kini banyak individu di kalangan masyarakat yang diam-diam mengagumi orang yang banyak harta karena korupsi, kemenangan yang didapat dengan cara yang tidak benar atau proyek yang dimenangkan atas ‘power’ yang tidak wajar. Malahan, kita bisa jadi ‘orang aneh’ bila kita memprotes kenyataan-kenyataan seperti ini, dan bahkan, dikomentari orang “Sirik kamu, ya?


 


Dalam kehidupan sehari-hari kita memang berlatih atau melatih anak-anak kita untuk menggunakan nurani sebagai pengawas perilaku dan sikap. Saat belajar, bekerja, meminta kemudahan, antri, menyetir, menonton televisi, menonton pertandingan olah raga atau bahkan ketika akan membuang sampah sekecil sisa permen karet, kita sering dihadapkan pada konflik tingkah laku. Saat itulah bisa terasa apakah nurani kita ‘dekat’ atau sulit digapai.


 


Di Singapura, bolongnya nurani diisi dengan peraturan, sehingga individu dengan patuhnya tidak mengkonsumsi permen karet untuk menghindari kesulitan membuang sisanya. Bila ditanya, mereka dengan segera bisa menjawab: ”Pemerintah melarang”. Tidak perlu ada mekanisme ‘searching’, dan cek-ricek memutuskan tindakan yang akan diambil dalam situasi konflik. Tidak perlu juga ada mekanisme dialog batin untuk mempertanyakan, mengkonfirmasi, memperingatkan atau kemudian menimbulkan rasa bersalah dalam diri individu. Pertanyaannya, kalau peraturan tidak ada atau tidak dijalankan secara konsisten dan konsekuen, dan tidak dipatuhi betul, siapa yang akan memperingatkan kita ?


 


 


Produktifkan Rasa Bersalah sebagai ‘Alarm’ Diri


 


Bila kita berusaha menelaah proses batin, kita sadari bahwa sejak masa kanak-kanak ada mekanisme rasa bersalah, rasa malu dan empati yang beroperasi dalam benak kita. Perasaan-perasaan ini sering disebut para ahli sebagai emosi moral manusia. Setiap upaya menghilangkan rasa bersalah adalah upaya untuk tidak bersahabat dengan nurani. Tidak bersahabatnya kita dengan nurani akan menghilangkan kesempatan kita mengaktifkan alarm diri dalam membuat batas antara salah dan benar. Bila kita melanggar batas tersebut biasanya rasa bersalah  akan timbul dan menyebabkan rasa gerah seolah-olah ada duri dalam daging. Inilah mekanisme kepribadian untuk mencegah kita untuk lebih jauh terperosok pada kebiasaan-kebiasaan buruk.


Selain mekanisme rasa bersalah, ada mekanisme positif yang juga bekerja dalam kepribadian kita yang “menyuruh” kita melakukan hal yang benar. Suatu ketika, saya dan teman teman menunggu pintu bioskop dibuka di antara penonton lainnya dan berbagi brondong jagung. Tiba-tiba brondong tumpah mengotori lantai. Dalam beberapa detik kami bengong dan tiba-tiba, hampir serentak, masing-masing bergerak secara malu-malu memunguti brondong satu per satu, di tengah-tengah kerumunan orang banyak. Sambil tertawa geli, ada rasa “kebenaran” yang berpijar di dalam hati dan seolah ada malaikat di sebelah kanan yang berbisik,”Kamu melakukan hal yang benar, kok.


Celengkan Nilai-nilai Luhur


Kalau kita jumpai seseorang yang berbicara kasar, melanggar antrian, minta uang yang bukan haknya, ataupun melakukan korupsi tanpa menampilkan rasa bersalah, maka ada dua kemungkinan. Pertama, dia sudah mematikan mekanisme kerja rasa bersalahnya, atau kedua, dia memang tidak punya ‘tabungan’ nilai-nilai luhur yang ditanam sejak kecil. 


 


Mekanisme nurani bila dipelihara akan bergerak bagaikan upaya “searching” gelombang ponsel mencari sambungan dan cepat-cepat mengirimkan sinyal tindakan. Mekanisme ini terjadi begitu cepat sampai-sampai banyak individu tidak terlalu menyadari proses kerjanya. Semakin banyak celengan nilai luhur dalam diri seseorang, semakin mudah kita  terarah pada perilaku positif.


 


Bila seseorang berada dalam lingkungan yang penuh ‘godaan’, sementara ia tidak punya gudang nilai yang kokoh atau sudah terbiasa mematikan rasa bersalahnya, tentunya ia tidak bingung lagi dan juga tidak mempertanyakan tindakannya lagi. Bahayanya, ia bahkan bisa jadi sudah menginternalisasi nilai-nilai yang kurang luhur dalam celengannya.


 


Pikirkan Generasi Mendatang


Mungkin dengan memikirkan anak cucu, kita sebetulnya bisa melakukan penyehatan nurani lagi. Anak-anak kerap mengajukan pertanyaan kritis seperti, “Mengapa kita tidak boleh merebut kembali mainan kita sendiri?”, “Mengapa orang dewasa bekerja begitu keras, tetapi tetap kekurangan uang?” dan ‘mengapa...’, ‘mengapa...’, lainnya. Sebagai orang tua yang peduli, kita tentunya perlu cermat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, sehingga penalaran moral anak bisa tumbuh dengan subur.


 


Kita bisa menghidupkan nurani pada generasi mendatang dengan men-”jual” efek-efek positif dan luhur, bukan dengan penanaman rasa bersalah. Karena rasa bersalah yang menghantui individu akan membelenggu perilaku ekspresifnya. Hindari pula mengancam anak bahwa bila berbuat tidak baik ia jadi tidak disayang. Anak-akan memelihara rasa terancam dan bukan rasa bersalah yang murni. Hal-hal ini bisa memperkuat nurani karena ternyata celengan nurani anak juga dia himpun dari hasil observasi perilaku orang tuanya dan penyemaian benih nilai orang tua.


 


Ditayangkan di KOMPAS, 30 Juni 2007


 

For further information, please contact marketing@experd.com