was successfully added to your cart.

“Sense of Crisis”

Kita sama-sama sudah mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997. Kita tahu betapa kerusuhan, hilangnya bisnis, hilangnya pekerjaan begitu  mencekam dan menimbulkan ketidaknyamanan. Meninjau keadaan sekarang, banyak pihak mengatakan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cepat lupa sehingga pulihnya keadaan sering tidak diambil hikmahnya, tidak memberi “lesson learned” kepada individunya. Banyak bukti bahwa orang yang mengalami dampak krisis yang berat, juga tidak mengubah pola kerja, pola hidup dan pola berpikirnya.


 


Ada yang berkomentar,”Mungkin kita terlahir sebagai bangsa yang ‘nyantai’, tidak pernah bergegas dan terburu buru”. Seorang eksekutif kenalan saya secara geregetan bertanya, ”Bagaimana sih membangkitkan “sense of crisis” di lingkungan yang sudah nyaman begini?” Lah, untuk apa ada ‘sense of crisis’ kalau sebenarnya tidak ada krisis? Beliau dengan berang mengatakan, “Orang–orang sudah terlalu santai. Tidak antisipatif. Tidak ada inisiatif untuk perombakan”. Padahal, situasi persaingan yang kita hadapi terkadang tidak masuk akal. Perang tarif, perubahan organisasi, pelanggan yang maunya macam-macam, gratisnya akses ke segala macam informasi, menyebabkan kita, apakah di dunia usaha atau sebagai profesional tidak bisa tinggal diam ataupun puas dengan kesuksesan masa lampau.


 


Dalam ilmu change management kita kenal istilah “burning platform”, yang mengibaratkan keadaan panik bila anjungan minyak pengeboran terbakar. Dalam situasi itu mematikan api hampir tidak mungkin, kita harus menyelamatkan diri sementara tidak tahu ke mana harus akan menyelamatkan diri. Dalam situasi ini ada dorongan yang sangat kuat untuk “do something”, tidak berdiam diri, apalagi ber”leha-leha”.


 


“Kenyamanan” adalah Jebakan


Siapa sih yang tidak merasa “nyaman” bila bekerja di perusahaan yang produknya sedang dipasarkan besar-besaran? Rasanya janggal bila  dalam keadaan seperti itu, ditumbuhkan “sense of crisis”. Apalagi bila produk sudah bertahan selama, katakanlah seperti mobil Kijang, sudah  30 tahun. Dengan kemajuan perusahaan, tidak ada banjir, kebakaran atau bencana yang terlihat nyata, bonus tahunan selalu melimpah dan ditambah fasilitas eksekutif super mahal dan bergengsi, seperti keanggotaan klub eksekutif, memang akan sulit sekali untuk merasakan keadaan “genting”. Beberapa kali saya menyaksikan bahwa di perusahaan yang berlaba besar dan berproduk handal begini, manusianya banyak yang seolah terlena, kurang belajar dan tidak dinamis. Bahayanya, bila ternyata perusahaan mengalami penurunan kinerja yang baru disadari tiba-tiba, biasanya tenaga kerja tidak siap untuk berjuang melawan keterpurukan.


 


Berteman dengan “Brutal Facts


Disadari atau tidak, banyak terjadi gejala “kill-the-messenger-of-bad-news”. Orang-orang yang mengungkapkan brutal facts seperti gejala malpraktik,  pelanggaran etik, mensinyalir inefisiensi dan inefektivitas yang bahkan mengarah pada kecurangan bukan sekedar ditelantarkan, tetapi seolah diserang balik. Sesungguhnya, “open door policy” para CEO adalah inisiatif yang baik, terutama kalau para CEO benar – benar meluangkan waktu untuk menerima, mencerna dan mengolah keluhan sampai kepada tindakan perbaikan. “Open door policy” ini akan tidak mempan bila ternyata hanya jadi basa – basi CEO saja.


 


Di era kompetisi seperti sekarang, kita juga wajib menyebarkan data kepuasan pelanggan kepada karyawan. Sebuah perusahaan terkenal di Indonesia, bahkan mengharuskan setiap karyawan bertemu muka dengan pelanggan dan mewawancara kesan pelanggan terhadap produk mereka. Tidak jarang didapatkan brutal facts sebagai umpan balik yang membuat kita terperangah dan bangkit dari kenyamanan!


 


Bisakah “Menciptakan” Kewaspadaan?


Terkadang ada juga manajemen yang tidak suka menyebarkan “kecemasan” ke ”bawah” karena mengkhawatirkan komitmen bawahan, bila merasakan kecemasan tersebut. Yang ada adalah anak buah dininabobokan oleh “happy talk” dari manajemen.


 


Data mengenai analisa keuangan yang mendetil adalah informasi “pahit” yang juga bisa memecut karyawan untuk waspada. Walaupun perusahaan melaba, tetap ada aspek-aspek yang perlu dikembangkan. Membuat tantangan-tantangan mikro, seperti memperbaiki “service level agreement”, “key performance indicator”, meningkatkan kelancaran arus kas adalah hal yang relatif mudah, tetapi bersama-sama menanggung konsekuensinya lah yang tidak mudah dilaksanakan. Kita sudah kenal sistem  pengupahan di banyak perusahaan yang me-”reward” karyawan bila target individu, tim maupun organisasi tercapai dengan baik, tetapi tidak memberi “punishment” apapun bila target tidak tercapai. Situasi ini serta merta akan menurunkan adrenalin karyawan.


 


Keadaan “status quo” atau keadaan yang menantang sebetulnya adalah pilihan. Perusahaan yang progresif tentunya bisa mengkomunikasikan kepada karyawan kesempatan-kesempatan di masa datang yang bisa diraih perusahaan serta ancaman-ancaman yang ada di masa depan kalau seluruh barisan tidak mempunyai “mindset” yang diwarnai kewaspadaan.  


 


 


 Ditanyangkan di Kompas, 23 Juni 2007

For further information, please contact marketing@experd.com